DALAM buku Our Time is Now: Young People Changing the World, Sheila Kinkade dan Christina Macy mengatakan bahwa abad ke-21 bakal jadi milik kaum muda.
Melalui buku itu, diriwayatkan bagaimana puluhan anak muda di seluruh penjuru berhasil memperbaiki dan mengubah komunitasnya menjadi lebih baik, jauh melampaui apa yang bisa kaum tua lakukan.
Sehingga, jika merefleksikan pendapat mereka, apakah narasi tentang generasi muda yang egois, mudah menyerah, lemah, dan tak punya daya juang tinggi itu tepat?
Banyak dari kita yang masih memandang pemuda sebagai objek, terutama jika berbicara ekonomi dan pasar. Pandangan ini yang saya kira perlu diluruskan karena pemuda di masa depan adalah subjek perubahan.
Banyak sekali pemuda yang punya sifat tidak mudah menyerah, visioner, dan lain sebagainya. Dalam Indonesia Millennial Report 2020 disebutkan, terdapat 14 persen visionary millennial yang 17 persen merupakan seorang pengusaha. Mereka sudah memberdayakan orang lain melalui usaha yang ditekuninya.
Selain itu, ada 19 persen pemuda yang menjuluki diri mereka sebagai the collaborator. Dari persentase ini, 15 persen pemuda menjadi pengusaha.
Riset di atas sedikit banyak mengungkap banyak sifat positif tentang generasi muda khususnya milenial.
Kita bisa mengungkapkan bahwa pemuda membuktikan diri mereka sebagai aset bangsa. Terlebih, data dari BPS 2020 mengatakan bahwa pemuda Indonesia berjumlah 145,39 juta.
Jumlah yang banyak ini harusnya bisa menjadi aset bangsa. Jumlah ini kiranya kalau negara mampu memanfaatkannya dari sekarang, dampak positif dari bonus demografi akan kita nikmati.
Namun, untuk memenuhi proyeksi tersebut, bagaimana pemuda bisa mengambil peran tersebut?
Tempatkan mereka sebagai garda terdepan pembangunan dan niscaya, Negara Indonesia akan berkembang dengan sendirinya.
Pemuda punya semangat dan idealisme yang dibutuhkan untuk membangun bangsa ini, karena mereka berpikir out of the box dan bahkan mampu mendobrak pemikiran-pemikiran lama.
Namun untuk mencapai itu, mereka butuh pengalaman dan ruang inklusif yang seluas-luasnya agar mampu menyelesaikan problematika yang terjadi di dalam masyarakat sekaligus menstimulan perkembangan mereka.
Bagaimana cara mereka menyelesaikan problematika saat ini? Pemuda akan membuat komunitas.
Dari zaman Indonesia masih dijajah kemudian menjadi merdeka tidak luput dari peran komunitas. Itu menurut saya salah satu hal yang dilupakan.
Pemuda berperan mulai dari momentum pembentukan organisasi Budi Utomo, lalu sumpah pemuda, saat menjelang proklamasi, demonstrasi di tahun 1966 dan 1998.
Namun, di zaman ini, ada perbedaan wadah. Pemuda lebih memilih berkontribusi melalui komunitas sosial bukan politik. Meski berbeda wadah, tetapi semangat yang dibawa juga sama, yakni memajukan republik Indonesia tercinta. Komunitas menjadi wadah alternatif yang tepat bagi pemuda zaman now.
Dari sini menjadi bukti bahwa komunitas menjadi manifestasi dan kristalisasi dari nilai-nilai yang pemuda anut.
Saya teringat ketika bicara bersama Co-Founder dari International Youth Diplomacy (IYD), Gracia Paramitha. Ia mengatakan, “Kita tidak bisa mendapatkan nilai jika kita tidak melakukan atau tidak membawa nilai itu. Kita bisa mendapatkan nilai dari komunitas.”
Artinya, pergerakan pemuda dalam komunitas saat ini dipengaruhi oleh nilai. Mereka ingin mengaktualisasikan cita-cita yang mereka genggam erat.
Pada 2013 lalu, saya bersama Doddy Matondang dan Gerryl Besouw mendeklarasikan “Hari Komunitas Nasional” untuk pertama kalinya di Indonesia pada 28 September 2013 di JCC Senayan.
Disahkan oleh Menkominfo Bapak Tifatul Sembiring, Negarawan Bapak Pontjo Sutowo, puluhan founder serta ratusan anggota komunitas lintas bidang.