KOMPAS.com - Hari Film Nasional diperingati setiap 30 Maret.
Tanggal tersebut diambil dari hari pertama produksi film Darah dan Doa (Long March of Siliwangi) karya Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, tahun 1950.
Mengutip Instagram resmi Direktoral Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, berangkat dari semangat Usmar Ismail itulah perjalanan industri film di Indonesia kemudian terus meningkat, termasuk perkembangan film anak bangsa yang sudah banyak diproduksi sejak 1950.
Baca juga: 30 Maret, Hari Film Nasional
Selamat Hari Film Nasional!
—
— ndo (@kardvk) March 29, 2021
Darah dan Doa (The Long March) (1950) dir. Usmar Ismail pic.twitter.com/KtonQc60L7
Selamat Hari Film Nasional
Sebut 1 aja film Indonesia favorit kalian.
— WatchmenID (@WatchmenID) March 30, 2021
Selamat Hari Film Nasional!
Film Indonesia favoritmu (yang rilis dalam 10 tahun terakhir) adalah....
— Cenayang Film (@CenayangFilm) March 30, 2021
Terdapat beberapa usulan tanggal terkait tanggal Hari Film Nasional.
Diberitakan Harian Kompas, 19 Agustus 1984, dalam sidang Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia (MMPI) diadakan di Yogyakarta dalam rangkaian FFI 84 diajukan beberapa tanggal sebagai Hari Film Nasional, yakni 6 Oktober dan 30 Maret.
Meskipun Loetoeng Kasaroeng (1926) merupakan film pertama yang dibuat di Indonesia, tapi pembuatnya adalah orang asing, L Heuveldorp yang berkebangsaan Belanda. Jadi film itu tidak dijadikan patokan penetapan Hari Film Nasional.
Selain itu, meskipun Indonesia telah merdeka sejak 1945, tapi perusahaan film nasional baru berdiri pada 1950. Umar Ismail dan kawan-kawan mendirikan Perusahaan Film Nasional (Perfini).
Baca juga: Selamat Hari Film Nasional, Wajib Tahu 3 Hal Ini
30 Maret
Produksi pertama, Darah dan Doa, mulai pengambilan gambar perdana pada 30 Maret 1950 dan Umar Ismail menjadi sutradaranya.
Meskipun Umar Ismail pernah menyutradarai dua film sebelumnya, yaitu film Tjitra dan Harta Karun (keduanya pada 1949), tapi dia menganggap Darah dan Doa sebagai film pertamanya.
Lewat Darah dan Doa dia memperoleh kebebasan sepenuhnya dalam menghasilkan film sebagai karya seni, bukan semata barang dagangan.
6 Oktober
Tanggal 6 Oktober juga mencuat sebagai usulan, karena pada hari itu dilakukan serah terima Nipon Eiga Sha dari pemerintah Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Sebagai perwakilan dari Indonesia adalah R M Soetarto, ketua Berita Film Indonesia (BFI).
Studio Nipon Eiga Sha pada awalnya adalah ANIF, lalu berubah menjadi Multi Film. Kemudian saat pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, studio BFI jatuh ke tangan Belanda lagi dan kembali menjadi Multi Film.