Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heliosentrisme: Pengertian dan Sejarahnya

Kompas.com - 08/03/2021, 13:39 WIB
Vanya Karunia Mulia Putri ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Teori heliosentrisme menyatakan bahwa matahari merupakan pusat alam semesta. Secara historis, konsep ini bertentangan dengan geosentrisme yang sebelumnya diyakini, yang menempatkan bumi sebagai pusat alam semesta.

Tokoh geografi yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat jagat raya atau anggapan heliosentris ialah Nicolaus Copernicus. Ia mengemukakan teori ini pada abad ke-16.

Dikutip dari Buku Pintar Ruang Angkasa (2019), John Kepler memperluas konsep atau teori heliosentrisme, setelah dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus.

Konsep ini semakin diperkuat dengan penemuan teleskop oleh Galileo Galilei. Sehingga heliosentrisme berhasil mematahkan konsep geosentrisme, yang dikemukakan pada abad ke-2 SM oleh Ptolemeus.

Pengertian heliosentrisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian heliosentrisme merujuk pada heliosentrik, yang berarti matahari sebagai pusat tata surya.

Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Nicolaus Copernicus, Penemu Teori Heliosentris

Kata heliosentrisme berasal dari Bahasa Yunani, yakni helios yang berarti matahari dan kentron yang berarti pusat. Maka dapat disimpulkan jika heliosentrisme merupakan teori atau konsep yang mengakui jika matahari merupakan pusat jagat raya.

Mengutip dari Encyclopaedia Britannica, heliosentrisme mengasumsikan matahari sebagai pusat tata surya dan bumi serta benda langit lainnya mengitari matahari.

Sejarah heliosentrisme

Menurut Kumara Ari Yuana dalam buku The Greatest Philosophers (100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis) (2010), konsep heliosentrisme sudah ada pada abad ke-7 SM dan tercatat pada teks India kuno yang tidak diketahui siapa pengarangnya.

Pada abad ke-3 SM, Aristarchus, astronom Yunani Kuno, menyusun teori rotasi bumi serta revolusi planet Venus, Merkurius dan bumi saat mengitari matahari.

Teori miliki Aristarchus ini kemudian dikembangkan oleh Nicolaus Copernicus dalam bukunya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium, dan dipublikasikan pada 1543.

Awalnya konsep milik Nicolaus ini tidak menuai perdebatan di masyarakat. Namun, pada 1546, banyak pihak yang mendebat bahkan mengecam teori milik Nicolaus Copernicus. Salah satunya ialah Giovanni Tolosani yang menulis kecaman terhadap teori heliosentrisme.

Baca juga: Sikap Galileo Galilei yang Bisa Dicontoh

Teori heliosentrisme yang diungkapkan oleh Nicolaus Copernicus ini diperkuat dengan penemuan teleskop serta hasil temuan data observasi oleh Galileo Galilei. Berdasarkan hasil observasinya, Galileo Galilei menjelaskan tentang adanya empat satelit jupiter.

Sebelumnya, konsep heliosentrisme juga telah diperkuat oleh John Kepler pada abad ke-16, melalui Hukum Kepler. Secara garis besar, Hukum Kepler ini menjelaskan jika:

  1. Planet memiliki lintasan berbentuk elips dengan matahari sebagai pusatnya. Sehingga planet dan benda langit mengitari matahari.
  2. Kecepatan planet saat berputar mengelilingi matahari akan melambat jika titiknya berada sangat jauh dari matahari.
  3. Waktu yang dibutuhkan planet dalam mengitari matahari dipengaruhi oleh jaraknya. Jika semakin dekat maka waktunya akan lebih singkat. Jika jaraknya semakin jauh maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com