Oleh: Edi Setiyanto
ADA dua masa pangsa-pasar besar yang selalu berulang di Indonesia: menjelang Idulfitri dan Natal/tahun baru. Masa itu ditandai dengan berlipatnya transaksi belanja masyarakat untuk merayakan peristiwanya.
Baca juga: Kemkominfo Tanggapi Protes Larangan Iklan Rokok KNPK
Menyikapi keadaan tersebut, banyak perusahaan yang lalu menggelar berbagai cara untuk menanggapinya.
Misalnya, menambahkan waktu layanan (late night sale), memberikan potongan harga, menawarkan pencakupan harga (beli 2 dapat 3), memberikan voucer berantai (voucer bervoucer), termasuk iming-iming produk terbaru.
Iklan jenis pertama memeluangi konsumen yang kesulitan berbelanja pada jam konvensional (misal siang berpuasa, malam salat Tarawih).
Iklan jenis kedua, tiga, dan empat bertujuan meyakinkan bahwa harga sedang murah. Iklan jenis kelima mencitrakan keeksklusifan belanjaan.
Apa pun bentuk yang digunakan, semua iklan bertujuan memperbesar keuntungan perusahaan.
Jika dicermati, ada yang menarik mengenai bagaimana produsen memainkan bahasa untuk memersuasi konsumen, terutama dalam (a) mengubah pemahaman akan barang, kebutuhan, dan filosofi belanja serta (b) merebut persepsi mengenai siapa “penguasa” (superior) dan siapa “terkuasa” (inferior) pada sebuah “pasar”.
Menarik diawalkan di sini, yaitu melihat pergeseran siapa penguasa dan siapa terkuasa. Dulu lazim kita kenal ungkapan pembeli adalah raja. Pada era industri, pemahaman sepertinya mulai bergeser.
Baca juga: Kawal Rencana Pelarangan Iklan Rokok
Sang raja bukan lagi konsumen, melainkan produsen. Hal ini sesuai dengan mekanisme pasar yang semakin dikendalikan oleh produsen dengan menentukan apa yang diproduksi, dijual, dan berapa harganya.
Jadi, jangan berharap bisa memperoleh, misalnya, produk gres Nokia 3660 meski sangat mengidolakan atau melakukan penawaran di luar mekanisme yang sudah dibakukan.
Dalam linguistik kritis, persuasi dipahami sebagai salah satu bentuk praktik dominasi, yaitu cara penguasa memberlakukan ideologi mereka kepada terkuasa.
Ideologi adalah nilai-nilai kepentingan penguasa yang harus dilaksanakan oleh pihak terkuasa. Ada tiga cara penguasa dalam mempraktikkan dominasinya: apresiatif, persuasif, atau koersif.
Cara persuasif berbeda dengan cara praktik dominasi yang lain. Pada persuasi, dominasi berlangsung secara samar, secara halus, sehingga terbangun hegemoni, yaitu kepatuhan yang bukan karena paksaan, melainkan sebagai sebuah kewajaran.
Dalam hegemoni, tumbuh keyakinan bahwa ideologi yang diberlakukan memang sudah hal yang seharusnya (lihat Baryadi, 2012). Sesuai perkembangan, macam hegemoni pada iklan juga memperlihatkan perubahan. Hal itu tersirat melalui teks atau bahasa iklan yang digunakan.