Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Papermoon Puppet Theatre, Seni yang Berawal dari Keras Kepala

Kompas.com - 06/01/2021, 18:41 WIB
Cynthia Lova,
Andi Muttya Keteng Pangerang

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa yang tak mengenal Papermoon Puppet?

Jika sudah nonton film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2, pasti tahu Papermoon Puppet yang ada dalam salah satu adegan dari film tersebut.

Papermoon Puppet merupakan pertunjukkan teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre.

Komunitas teater modern itu berdiri pada 2006 di Yogyakarta dan dibentuk oleh Maria Tri Sulistyani dan suaminya, Iwan Effendi.

Baca juga: Teater Koma Gelar Goro-Goro Mahabarata 2

Dalam kanal YouTube Kompas.com, Ria panggilan akrab untuk Maria bercerita di balik terbentuknya Papermoon Puppet.

Ria mengatakan, Papermoon Puppet Theatre terbentuk dari keras kepala dan kecintaannya terhadap seni.

Pasalnya, awal mula membentuk Papermoon Puppet Theatre belum ada prototipe atau model seperti komunitas yang akan dibentuknya.

"Kekeraskepalaan yang luar biasa. Sebenarnya Papermoon sendiri organik banget ya. Semua yang kami lakukan di Papermoon itu tumbuh dari kebutuhan orang-orang yang bekerja di dalamnya gitu," kata Ria seperti dikutip Kompas.com dalam kanal YouTube Kompas.com, Rabu (6/1/2021).

Baca juga: Teknik Mengolah Tubuh, Pikiran, dan Suara dalam Teater

"Jadi awalnya Papermoon itu, aku bikin sesimpel, aku suka sama seni rupa, aku senang sama seni pertunjukan, dan aku konsen sama pendidikan seni untuk anak. Awalnya itu," lanjutnya.

Berangkat dari kecintaannya dengan anak-anak dan seni, Ria membagikan ilmunya lewat sanggar seni yang dibentuknya saat itu di lingkungan tempat tinggalnya.

Komunitas seni itu diberi nama Papermoon karena namanya yang bagus.

Diakuinya, kala itu ia miris melihat kurangnya kreativitas anak-anak dalam menggambar.

Baca juga: Produser Teater Roger Berlind Tutup Usia

Entah datang dari mana asal usulnya, dahulu tiap anak serentak menggambar gunung dengan matahari.

Tak pakai gradasi, anak-anak terdahulu justru menggunakan warna yang sama untuk menggambarkan pemandangan gunung.

"Kok enggak ada bedanya yah, apakah emang seni itu hanya untuk imitasi. Apakah seni untuk meniru? Harusnya kan enggak, seni itu untuk ekspresi. Jadi tetap ada ruang untuk itu, jadi kami berpikir buka sanggar untuk itu," kata dia.

Baca juga: Cerita Ria Papermoon Memperjuangkan Komunitas Teater Boneka

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com