Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Anarki Laut China Selatan dan Urgensi Strategi "Zero Conflict"

Kompas.com - 15/05/2024, 13:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENYUSUL semakin memanasnya perselisihan sengketa wilayah di Laut China Selatan, baru-baru ini, Eduardo Ano, seorang penasihat keamanan nasional Filipina, memberikan usulan agar para diplomat China untuk segera angkat kaki dari negara tersebut.

Apabila seruan ini benar dilakukan oleh Pemerintah Filipina, hal ini dapat memantik konfrontasi yang lebih serius dengan China di kemudian hari, hingga adanya potensi konflik lebih besar.

Usulan pengusiran diplomat China dilakukan pascabocornya percakapan telepon antara salah seorang perwira tinggi angkatan laut Filipina dengan diplomat dari Negeri Tirai Bambu tersebut terkait kompromi di Laut China Selatan.

Hingga saat ini, aktivitas militer maupun non-militer China di Laut China Selatan dinilai semakin intens, yang membuat semakin banyaknya China terlibat dalam konfrontasi di wilayah perairan bersama Asia Tenggara tersebut (khususnya dengan Filipina dan Vietnam).

Selain itu, semakin masifnya pembangunan pulau-pulau buatan yang selanjutnya dijadikan pangkalan militer oleh China di perairan ini.

Selain itu, provokasi strategis dari Amerika Serikat, membuat Laut China Selatan berpotensi besar menjadi arena “Perang Dingin Baru” dalam konteks persaingan geopolitik antara AS dengan China.

Sebagai wilayah yang memiliki potensi cadangan migas besar sekaligus jalur perdagangan global, Laut China Selatan adalah salah satu wilayah perairan internasional, di mana pada masa yang akan datang, secara potensial dapat menimbulkan ekskalasi konflik yang melibatkan banyak negara termasuk Indonesia.

Dalam hal pemanfaatan hak berdaulat (sovereign rights), wilayah yang menjadi hotspot utama Indonesia dalam konflik ini adalah wilayah Laut Natuna Utara, yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sesuai dengan ratifikasi aturan dari United Nations Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

Akan tetapi, klaim historis nine-dash line China berdasarkan peta negaranya tahun 1947 membuat negeri tirai bambu seringkali berkonflik dengan negara-negara di sekitar perairan Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tak terkecuali Indonesia.

Selain ketidakjelasan batas wilayah yang berakibat pada banyaknya potensi penindakan kapal-kapal asing, klaim nine-dash line China ini membuat pemanfaatan hak berdaulat yang semula diatur dalam hukum internasional dalam tatanan yang berbasis aturan (rules-based), malah berbalik menjadi kondisi yang berwujud anarki (tanpa aturan).

Pemantik konfrontasi antara Indonesia dengan China di perairan Natuna Utara pertama terjadi pada 2016. Ketika itu, TNI Angkatan Laut menangkap kapal ikan berbendera China, Han Tan Cou 19038, yang melakukan illegal fishing.

Sebelumnya, dua kapal nelayan China juga telah tertangkap akibat melakukan hal serupa di sekitar Laut Natuna Utara dengan mengklaim bahwa perairan tersebut adalah traditional fishing ground bagi nelayan China.

Sadar akan semakin banyaknya keberadaan kapal asing di perairan tersebut, tahun 2018, Indonesia mulai mengintenskan pelaksanaan latihan tempur TNI serta pengembangan pangkalan militer di Natuna.

Konfrontasi ini sempat memuncak pada 2021, ketika Indonesia mulai melakukan pengeboran minyak di perairan Natuna Utara.

Pascadimulainya aktivitas pengeboran, kapal Angkatan Laut RI dan China beberapa kali tercatat saling berlayar membayang-bayangi di sekitar lokasi tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com