Penulis: Marina Baranovska/DW Indonesia
MOSKWA, KOMPAS.com - Perintah mobilisasi parsial oleh Presiden Vladimir Putin mendorong ratusan ribu pria Rusia melarikan diri ke negeri jiran, antara lain Georgia, Kazakhstan, dan Belarus.
Mereka menolak berperang di Ukraina. Banyak yang mengungsi bahkan meski belum mendapat panggilan resmi.
DW berbincang dengan ibu seorang pria Rusia yang melakukan desersi dan kini bermukim di luar negeri. Dia mengimbau kepada Eropa untuk membuka pintu bagi mereka yang tidak ingin berperang.
Baca juga: Apa Itu Mobilisasi Parsial Rusia dan Dampaknya di Perang Ukraina?
Berikut kutipan wawancaranya.
Deutsche Welle: Di mana anak Anda berada saat ini?
Irina Ivanova: Putra saya ada di Kazakshtan dan sibuk membangun kehidupan baru di sana. Mungkin dia akan mengajukan permohonan visa ke negara lain.
Apakah dia meninggalkan Rusia karena panggilan mobilisasi?
Tidak. Kami tidak menunggu selama itu. Karena dia pasti termasuk gelombang pertama yang mendapat panggilan. Usianya baru 30 tahun, mahasiswa dan pernah mengabdi di militer. Awalnya mahasiswa dikecualikan dari mobilisasi. Tapi anggota militer dan polisi berulang kali datang ke universitas. Sebab itu kami sekejap memutuskan untuk ke luar.
Anak saya membeli tiket bus ke sebuah kota di perbatasan Kazakhstan. Kami tahu pintu perbatasan di sana masih terbuka buat warga Rusia. Seorang teman saya menunggu sampai dia melewati semua pemeriksaan dan menaiki kendaraan umum di seberang perbatasan.
Ratusan ribu pria Rusia tiba-tiba mengungsi ke negara-negara tetangga. Apakah warga dikejutkan oleh perintah mobilisasi, karena sebelumnya hidup selama tujuh bulan seakan-akan tidak ada perang di Ukraina?
Asumsi itu tidak benar. Semua orang mengetahui berkecamuknya perang di Ukraina. Tapi semua punya masalah masing-masing. Mereka yang pergi berperang punya berbagai alasan, entah itu karena alasan ideologi, keuangan atau keyakinan pribadi. Tapi masalahnya sekarang, pemerintah memutuskan sepihak tanpa persetujuan individu. Banyak yang tidak suka dan akhirnya melarikan diri.
Bagaimana respons Anda terhadap sikap negara-negara Eropa yang menutup perbatasan bagi warga Rusia?
Di satu sisi, kekhawatiran Eropa beralasan. Tapi di sisi lain saya kecewa terhadap larangan masuk bagi semua warga Rusia, bukan mereka yang bertanggung jawab atas perang di Ukraina. Kami ditolak atas dasar ketakutan dan boikot politik. Bahwa Rusia adalah agresor dan semua warga Rusia termasuk di dalamnya.
Tapi kita harus membedakan. Saya, anak saya, teman-teman saya, anak teman-teman saya bukan penyusup. Kami memprotes dengan berbagai cara.
Baca juga: