TEHERAN, KOMPAS.com - Diplomat tinggi Iran mendesak Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada Sabtu (6/2/2021) untuk bertindak cepat dan mengembalikan Washington ke perjanjian nuklir 2015.
Melansir The Times of Israel, dengan begitu, Iran berharap AS akan segera mengakhiri sanksi kepada negara itu maksimal pada 21 Februari, jika tidak, sikap pemerintah Iran akan "mengeras" sesudah tanggal tersebut.
Dalam wawancara dengan media Iran Hamshahri, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan undang-undang parlemen baru-baru ini memaksa pemerintah untuk memperkuat pendiriannya terhadap AS jika sanksi tidak dikurangi dalam 2 pekan, lapor Reuters.
Baca juga: Menlu AS Bahas Kesepakatan Nuklir Iran dengan Inggris, Perancis dan Jerman
Sebelumnya pada Desember, Parlemen Iran yang dipimpin kelompok garis keras mengesahkan undang-undang yang menetapkan batas waktu 2 bulan untuk pelonggaran sanksi.
"Waktu hampir habis untuk orang Amerika, karena adanya RUU parlemen dan suasana pemilihan yang akan mengikuti Tahun Baru Iran," kata Zarif.
Tahun Baru Iran dimulai 21 Maret. Zarif juga menunjuk pemilihan presiden yang akan datang di Iran pada bulan Juni.
Baca juga: Ketegangan dengan Iran Mereda, AS Tarik Kapal Induk dari Timur Tengah
Jika seorang presiden garis keras terpilih, hal itu dapat membahayakan kesepakatan lebih lanjut, dia tampaknya telah memperingatkan AS dalam wawancara tersebut.
"Semakin Amerika menunda-nunda, semakin banyak kerugiannya... tampaknya pemerintahan Biden tidak ingin melepaskan diri dari warisan Trump yang gagal," kata Zarif dalam wawancara yang dikutip oleh Reuters.
Menurutnya, bukan Iran yang harusnya kembali ke meja perundingan melainkan AS. Sementara dari pihak AS sendiri, pada Januari lalu, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan bahwa Biden telah sangat jelas terkait hal tersebut.
Baca juga: AS Kembali ke Kesepakatan Nuklir Bukanlah Prioritas Iran, tapi...
"Jika Iran kembali memenuhi kewajibannya berdasarkan kesepakatan, AS akan melakukan hal yang sama," pernyataan itu mengacu pada permintaan AS agar Iran lebih dulu menaati kesepakatan nuklir barulah AS akan kembali ke meja perundingan.
Karena, menurut Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Minggu lalu, Iran saat ini masih beberapa bulan lagi untuk dapat menghasilkan bahan yang cukup dalam membuat senjata nuklir.
Dan, katanya, jangka waktu itu dapat dikurangi menjadi "hitungan minggu" jika Teheran lebih jauh melanggar pembatasan yang disepakati di bawah kesepakatan nuklir 2015 dengan kekuatan dunia.
Baca juga: Iran Tolak Persyaratan Joe Biden untuk Capai Kesepakatan Nuklir
Bulan lalu, Teheran mengumumkan mulai memperkaya uranium hingga 20 persen, angkanya jauh melampaui 3,5 persen yang diizinkan berdasarkan kesepakatan nuklir, dan langkah teknis yang relatif kecil dari 90 persen yang dibutuhkan untuk senjata nuklir.
Iran juga mengatakan sedang memulai penelitian logam uranium, bahan yang secara teknis memiliki kegunaan sipil tetapi dipandang sebagai kemungkinan langkah lain menuju bom nuklir.
Meski begitu, Iran menegaskan tidak berusaha mengembangkan senjata nuklir, sesuatu yang kembali ditekankan pekan lalu oleh Zarif.
Sementara pada Sabtu, Wall Street Journal melaporkan bahwa inspektur nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan jejak bahan radioaktif di situs nuklir Iran yang dapat mengindikasikan adanya pekerjaan senjata nuklir.
Baca juga: China: Iran Langgar Kesepakatan Nuklir Gara-gara Intimidasi AS
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.