HASIL Programme for International Student Assessment (PISA) terakhir yang sudah diumumkan sebelumnya memicu berbagai penafsiran dan diskusi publik, termasuk klaim bahwa Kurikulum Darurat turut berkontribusi pada peningkatan peringkat PISA Indonesia.
Sebenarnya sudah sejak lama, hasil PISA yang diterbitkan sejak tahun 2000, dan kebetulan Indonesia selalu mendapatkan hasil rendah, dijadikan fokus diskusi dan menjadi argumen, bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam proses pendidikan kita.
Tak dapat dimungkiri bahwa PISA hanya mengambil sampel kecil untuk menjadi dasar analisis data. Secara tertulis hal tersebut sudah disampaikan secara terbuka, termasuk pada PISA 2022 dalam dokumen Technical Report bahwa target asesmen adalah siswa yang berusia 15 tahun pada negara-negara yang berpartisipasi, kecuali pada kondisi tertentu.
Pada PISA 2022 ada 13.439 siswa dari 410 sekolah di Indonesia yang mengikuti asesmen PISA, atau secara kalkulasi hanya sekitar 0,5 persen total sekitar 9 juta siswa berusia sekitar 15 tahun yang berasal dari sekitar 28.000 sekolah yang terdaftar di Dapodik.
Kondisi tersebut sebenarnya menegaskan bahwa hasil PISA bagi Indonesia adalah sebagai informasi, saran dan masukkan, bukan permasalahan nyata yang benar-benar dihadapi oleh seluruh siswa yang berusia sekitar 15 tahun di Indonesia.
Heterogenitas dan homogenitas suatu negara sangat berpengaruh dalam membentuk kesimpulan umum.
Indonesia memiliki keragaman sangat tinggi, termasuk kesenjangan (gap) kondisi pendidikan antara suatu wilayah dan antara suatu sekolah, dengan wilayah dan sekolah lainnya.
Kondisi wilayah di Jakarta berbeda dengan di Aceh dan Papua. Kondisi siswa dan sekolah yang berada di Jawa Barat berbeda dengan siswa dan sekolah yang berada di Sulawesi, juga berbeda dengan di Bali maupun Yogyakarta.
Indonesia memiliki heterogenitas tinggi. Oleh karena itu, untuk Indonesia, hasil asesmen pada sebagian kecil siswa pada suatu wilayah, tidak serta merta menjadi gambaran bagi seluruh wilayah dengan heterogenitas yang tinggi tersebut.
Kondisi berbeda terjadi pada Singapura, Korea, dan Swiss, yang sering menjadi bahan perbandingan bagi negara kita. Negara-negara tersebut relatif homogen, baik dari sisi siswa maupun kondisi wilayah atau sekolahnya.
Pada negara-negara yang relatif homogen, jumlah sampel kecil dan diambil dari wilayah bagian mana saja, relatif bisa dipercaya hasilnya akan mewakili seluruh populasinya.
Oleh karena itu, tidak tepat membandingkan hasil PISA Indonesia dengan hasil PISA Singapura maupun negara-negara yang relatif homogen lainnya.
Dalam konteks bahwa hasil PISA tidak memberikan hasil yang menggambarkan situasi Indonesia dengan heterogenitasnya sebagai keseluruhan, setidaknya itu adalah potret dari kondisi 13.439 siswa berusia sekitar 15 tahun di Indonesia pada 2022.
Pemerintah daerah yang menjadi lokasi asesmen PISA tetap dapat menggunakan data dan hasil tersebut sebagai salah satu dasar pengambilan kebijakan.
Misalkan pada salah satu sekolah di Bangka Belitung yang kebetulan menjadi tempat Asesmen PISA 2022, sejumlah kebijakan lokal dapat diterapkan dengan memperhatikan hasil PISA.