Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Seto Mulyadi
Ketua Umum LPAI

Ketua Umum LPAI; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma; Mantan Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham RI

Perundungan di Sekolah, Akan sampai Kapan?

Kompas.com - 08/12/2023, 13:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA satu sisi, kata tersebut memudahkan publik saat membayangkan perilaku kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan. Baik oleh sesama murid, oleh murid terhadap guru, atau bahkan oleh guru terhadap murid.

Namun pada sisi lain, dalam begitu banyak situasi, terindikasi bahwa kosakata yang sama justru seperti mengalami pengecilan makna.

Kata perundungan tidak lagi betul-betul mencerminkan keseriusan pada perbuatan keliru pelakunya.

Dengan cara berpikir yang semakin menumpul, serta-merta perundungan dianggap sebagai kenakalan yang seolah biasa-biasa saja, bahkan merupakan kelaziman, yang dimudahkan dengan mediasi sebagai jalan penyelesaiannya.

Kesan itu saya tangkap, misalnya, pada salah satu keluhan orangtua. Dia menyesalkan sikap sekolah yang dinilainya berlebihan terhadap perbuatan anaknya.

Sekolah, kata orangtua tersebut, meminta kejelasan tentang orientasi seksual anaknya setelah kedapatan berulang kali mencolek-colek–maaf–bagian depan celana sesama murid lelaki.

Setelah mendeskripsikan situasi di atas, orangtua tersebut memoles kisahnya dengan kosakata 'kenakalan yang biasa di kalangan remaja', 'iseng', dan 'bullying sesama teman'.

Kepada orangtua tersebut, saya berikan beberapa tanggapan. Pertama, tingkah polah colek-colek sedemikian rupa sesungguhnya dapat dipandang sebagai perbuatan pidana. Inilah bentuk pelecehan seksual. Disinonimkan dengan kejahatan seksual.

Pelaku dapat diproses hukum dengan menggunakan UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kedua, negara memosisikan kejahatan seksual sebagai masalah serius, dan saya mendukung sikap negara tersebut.

Ketiga, ketika terjadi tindak kejahatan, termasuk kejahatan seksual, pemenuhan hak-hak korban merupakan agenda yang harus diprioritaskan.

Seiring dengan hal tersebut, patut dimaklumi bahwa korban potensial akan melakukan segala hal yang mereka pandang perlu guna mencegah agar tidak mengalami viktimisasi berulang.

Ilustrasi di atas menunjukkan betapa di balik perilaku perundungan sesungguhnya ada bobot hukum dan psikologis yang amat serius.

Begitu seriusnya, sehingga di titik paling awal semua pihak sepatutnya menemukan kembali padanan bahasa hukum bagi kata perundungan tersebut.

Padanan yang terdekat, mengacu UU Perlindungan Anak, adalah kekerasan terhadap anak. Baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com