Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Miftahussururi
Konsultan Pendidikan

Miftahussururi merupakan pemerhati kebijakan pendidikan; ketua tim komunikasi dan data Article 33 yang sedang membantu Kemendikbudristek

Tujuan Mulia PPDB Zonasi

Kompas.com - 13/08/2023, 13:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PELAKSANAAN proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) setiap tahun ajaran baru selalu menjadi perhatian publik dan media. Setiap tahun, banyak pemberitaan berbagai polemik dan praktik kecurangan PPDB.

Beberapa waktu terakhir, ruang media kita dihiasi berita pemalsuan kartu keluarga, dugaan intervensi pejabat daerah, sampai jual-beli bangku sekolah pada saat PPDB.

Penerimaan peserta didik baru menggunakan zonasi mulai diterapkan pada 2017, era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat.

Kemudian disempurnakan menjadi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 junto Permendikbud Nomor 20 Tahun 2019 lalu Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021.

Regulasi tersebut mengubah syarat penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri dari nilai ujian nasional (UN) menjadi jarak rumah peserta didik dengan sekolah pada zona yang ditetapkan.

Perubahan tersebut dilakukan karena praktik diskriminasi dalam layanan pendidikan, khususnya di sekolah negeri yang notabene dibiayai negara.

Banyak contoh peserta didik yang memiliki nilai UN rendah tidak diterima di sekolah negeri, walaupun rumahnya sangat dekat dengan sekolah tersebut.

Sekolah negeri yang diisi para peserta didik dengan nilai UN tinggi membentuk kastanisasi sekolah yang sering disebut sekolah favorit.

Jika kita lihat pada era kolonial Belanda, pengelompokan sekolah favorit dan non-favorit sudah terjadi.

Praktik kastanisasi sekolah yang mendiskriminasikan kesempatan anak untuk mendapatkan pendidikan dirumuskan secara masif dan terstruktur.

Dulu kesempatan anak untuk bisa bersekolah ditentukan oleh kasta, kedudukan, status ekonomi, dan keturunan.

Peserta didik yang berasal dari keluarga dengan sumber daya, aset, akses, dan jejaring kolega yang baik memiliki peluang jauh lebih besar untuk memperoleh akses pengalaman-pengalaman bermakna melalui berbagai aktivitas mengasah keterampilan diri, tambahan pendidikan non-formal.

Selain itu, memiliki peluang jauh lebih besar untuk mendapatkan capaian pendidikan formal (yang disimpulkan dengan nilai UN) dibandingkan dengan peserta didik dari keluarga yang tidak memiliki banyak sumber daya atau sering kita kenal dari keluarga dengan ekonomi rendah.

Jika praktik ini terus dilanggengkan, maka layanan pendidikan yang diberikan Pemerintah di sekolah negeri akan diisi peserta didik yang homogen.

Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan SDM berkualitas di beberapa sekolah sehingga menciptakan kastanisasi sekolah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com