Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Radikal di Kampus, Pakar Unsri Usul Bentuk Satgas Anti Radikalisme

Kompas.com - 31/07/2023, 16:16 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Sejarah gerakan radikalisme dan ekstremisme bisa dibilang, sejalan dengan peradaban manusia modern. Seiring waktu, gerakan-gerakan ini hanya bertransformasi dan bersalin wajah sesuai dengan zaman.

Bedanya, jika dulu kebanyakan gerakan radikalisme dilakukan secara ekslusif dan hanya terpusat di lokasi-lokasi tertentu, saat ini pemikiran bahkan gerakan radikalisme bisa dengan gamblang muncul di permukaan.

Kampus, sebagai basis berkumpulnya kaum intelektual pun tak lepas dari paparan radikalisme.

Fenomena ini menjadi perhatian Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof. Alfitri.

Baca juga: Kemendikbud Minta Pemda Tindak Sekolah yang Lakukan Pungli Saat PPDB

Menurut guru besar yang lama meniti karier akademisnya di departemen ilmu sosiologi ini, potensi radikalisme di arena kampus merupakan isu serius yang perlu penanganan segera jika terjadi. Apalagi jika telah melibatkan tenaga pengajar.

"Harus ada langkah nyata dari pimpinan, baik di lingkup universitas maupun fakultas. Yaitu dengan melakukan pemutusan hubungan dengan kelompok radikalisme. Misalnya saja dengan membentuk Satgas Anti-radikalisme. Jadi nantinya tak hanya menangani kasus, tapi juga merancang strategi mencegah masuknya radikalisme ke kampus," kata dia dalam keterangannya kepada Kompas.com, Senin (31/7/2023).

Pada 2016, BNPT menyatakan, gejala radikalisme telah menyebar di kalangan mahasiswa lewat berbagai saluran.

Bahkan pada 2018, BNPT menyebut ada tujuh kampus negeri telah terpapar radikalisme.

Radikalisme tersebut umumnya dibawa oleh kelompok keagamaan eksklusif dan puritan yang menyasar lembaga-lembaga dakwah di lingkup universitas maupun fakultas. Masjid atau musala rentan jadi target sebagai tempat kaderisasi.

Ironisnya, tak hanya mahasiswa sebagai peserta didik yang menjadi korban paparan radikalisme di kampus, namun juga kelompok pendidik. Pada 2018 tercatat sejumlah dosen dicopot dari jabatannya karena dituding menganut ideologi anti-pancasila.

Kampus harus memantau agar wabah radikal tidak meluas

Riset yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2012 pun menyebut, setidaknya 26,7 persen anak muda setuju pada konsep jihad yang dilakukan lewat kekerasan.

Beberapa lainnya mengaku dengan tegas menolak pemimpin non-islam dan mendukung pendirian negara Islam.

Baca juga: Nadiem: PPDB Sistem Zonasi Mampu Perhatikan Kebutuhan Siswa

Alfitri menuturkan, manajemen universitas idealnya memang menjadi garda terdepan yang mengambil tindakan bijak, ketika mengetahui adanya aliran radikal yang telah mulai menyelinap di antara masyarakat kampus.

"Bahkan tak hanya sigap menanggulangi, jika sampai kebobolan, evaluasi juga perlu dilakukan berkala demi menjaga hal yang sama untuk tak lagi terulang," ungkap Prof. Alfitri yang tengah bersaing dalam pemilihan Rektor Unsri.

Dalam hal ini, Unsri, kata Prof. Alfitri, sudah melakukan upaya tersendiri. Perguruan tinggi negeri di Sumatera Selatan ini mengadakan monitoring dari waktu ke waktu kepada para mahasiswanya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com