Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UGM Jelaskan Sejumlah Upaya untuk Menangani Klitih di Yogyakarta

Kompas.com - 05/01/2022, 13:43 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Aksi klitih kembali marak di Yogyakarta. Bahkan, beberapa kasus terjadi di jalan yang cukup ramai pengendara.

Padahal, dulunya klitih biasa terjadi di kawasan yang tidak terlalu ramai. Maraknya kasus ini, sempat memunculkan tagar #SriSultanYogyaDaruratKlitih, #YogyaTidakAman, di media sosial Twitter pada akhir bulan Desember 2021 lalu.

Tagar yang bermunculan ini mencerminkan keluhan atas berbagai kasus kejahatan jalanan atau klithih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dosen Sosiologi, Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menuturkan fenomena klithih tidak bisa lepas dari konteks sejarah. Berbicara klitihih pasti tidak lepas dari sejarah genk-genk anak SMA jaman dahulu di Yogyakarta.

Baca juga: Biaya Kuliah S1 Kedokteran di UI, UGM, Undip, Unpad, Unair

“Secara histori pasti terkait, artinya bisa jadi klithih itu muncul lagi. Ini bisa dimaknai sebagai bagian dari kenakalan remaja, dan jangan heran di masa depan pasti akan muncul kembali," ujarnya, dilansir dari laman UGM. 

Wahyu Kustiningsih menyebut klithih itu label tindakan dan karena terjadi di Yogyakarta maka lebih khas dengan nama klitihih walaupun sebenarnya secara teori sebagai bagian dari kenakalan remaja. Karenanya untuk memberantas butuh upaya yang lebih.

Tidak lagi sekedar menangkap pelakunya dan kemudian selesai urusan, tetapi karena soal ini sebagai kenakalan remaja maka ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan.

“Pelaku tertangkap bisa jadi belum ada penyesalan, sebab jika ini kenakalan remaja maka ini menyangkut soal exercise power. Jika ini dianggap sebagai kenakalan remaja maka salah satu tujuannya adalah untuk recognisi, anak muda itu kan khas dengan pencarian jati diri dan sebagainya," ucapnya.

Ada banyak penyebab munculnya klithih di Yogyakarta yang melibatkan anak-anak remaja. Salah satunya semakin terbatasnya ruang publik sebagai arena ekspresi.

Jika dahulu ruang publik begitu luas maka kini berkurang cukup banyak. Belum lagi persoalan pandemi yang terjadi saat ini di mana orang harus berjarak dan akhirnya memaksa orang mau tidak mau harus beralih dengan teknologi untuk berinteraksi dan lain-lain.

Baca juga: Kemendikbud Risek Jelaskan Syarat Sekolah yang Bisa PTM 100 Persen

“Jadi, ruang yang sudah berkurang semakin berkurang lagi saat ini orang pun akan semakin jauh dari masyarakat. Membentuk dunianya yang semakin terasing dari masyarakatnya karena mereka sudah asyik dengan komunitasnya yang bisa terhubung secara virtual dan sebagainya. Artinya peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi dan sebagainya guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klithih," katanya.

Wahyu melihat aksi klithih dari perspektif sosial bukan sekedar yang dilakukan anak muda dalam sebuah genk, tapi sebagai fenomena yang berafiliasi dengan politik. Ia menandaskan aksi klithih tidak lepas dari sejarah panjang di Jogja dengan dinamika anak muda dan genk-genk yang sampai sekarang masih ada dan kemungkinan semerbak kembali di tahun 2024.

Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, Wahyu tidak menampik kenyataan ada seseorang yang akan memanfaatkan fenomena klithih untuk melakukan tindakan kriminal, seperti perampokan, pembacokan dan sebagainya yang mengarah pada perampasan materi (ekonomi). Jika ini yang terjadi maka pendekatan yang dilakukan akan berbeda.

“Kalau kriminal jelas ditangkap, kemudian dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Kalau seperti ini jauh lebih mudah dalam penanganannya karena cukup dengan memperbanyak CCTV, ciptakan efek panicticon, seperti di dalam penjara orang tidak bisa bertindak macam-macam karena adanya banyak kamera untuk mengawasi," terangnya.

Baca juga: Belajar dari Orangtua Jepang Cara Menanamkan Disiplin pada Anak

Sejumlah upaya mengatasi klitih

Kembali pada persoalan klithih, fenomena ini sebagai bagian dari dinamika orang muda yang tidak bisa lepas dari konteks sejarah Yogyakarta dan dalam penanganannya harus memerlukan usaha yang lebih ekstra. Karena ciri klitih melukai tetapi tidak merampas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com