KOMPAS.com - Gangguan informasi beredar masif di setiap berlangsungnya pemilihan umum (pemilu), sehingga menjadi tantangan yang perlu diantisipasi.
Berkaca dari tahun 2019, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan adanya sebaran hoaks yang mencapai 128 konten saat pemilihan presiden (pilpres).
Masyarakat pun dituntut jeli supaya tidak terjabak pada informasi keliru saat pemilu. Namun sayangnya, hingga kini masih banyak masyarakat yang percaya dengan informasi keliru yang beredar luas di jagat maya.
Survei opini publik yang digelar The Safer Internet Lab (Sail) The Center for Strategic and International Studies (CSIS), pada 4-10 September 2023 menunjukkan fakta bahwa hampir setengah responden masih percaya dengan gangguan informasi atau hoaks soal pemilu.
Dari 1.320 responden yang tersebar di 34 provinsi, 42,3 persen responden masih percaya gangguan informasi pemilu.
Baca juga: [VIDEO] Muncul Hoaks Jokowi Copot 2 Menteri yang Tolak Pemilu 2024, Simak Faktanya
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes menjelaskan, dalam survei tersebut pihaknya memberikan tujuh isu yang sudah terverifikasi sebagai informasi keliru.
Kemudian, responden diminta memberikan tanggapan apakah mereka percaya atau tidak.
Adapun informasi keliru yang diujikan kepada responden yakni meliputi pengelabuan jumlah pemilih, anggota KPU tidak netral, surat suara yang sudah dicoblos, pencurian surat suara, KTP palsu dalam pemilu, tenaga kerja asing (TKA) China sebagai pemilih, serta penundaan Pemilu 2024.
Menurut Arya, tujuh isu tersebut dipilih karena dianggap terus menyebar secara berulang.
"Dari hasil kalkulasi analisis statistik tersebut kami kemudian mendapatkan angka bahwa 42,3 persen populasi atau responden kita masih peracaya pada gangguan informasi pemilu. Ini mengkahwatirkan betul karena hampir setengah populasi kita percaya pada gangguan informasi," ujar Arya dalam acara rilis survei Sail pada Rabu (18/10/2023).
Baca juga: 5 Tipe Hoaks yang Muncul Menjelang Pemilu, Kenali agar Tidak Tertipu
Arya menjelaskan, pihaknya juga melakukan pengukuran pada dua isu keliru saat pemilu yang sudah beredar lama sejak 2014. Dua isu itu yakni terkait isu KTP elektronik untuk WNA China dalam Pemilu, serta Jokowi dianggap keturunan Tionghoa.