KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 26 Juni sebagai Hari Antinarkotika Internasional berdasarkan resolusi pada 7 Desember 1987 di Vienna, Austria.
Penetapan ini menjadi salah satu upaya mengakhiri penyalahgunaan, peredaran gelap obat-obatan terlarang, dan stigma yang dialami pengguna narkoba.
Masalah penyalahgunaan obat merupakan isu kompleks. Selain membahayakan kesehatan fisik dan mental, mereka yang kecanduan juga memerlukan akses bantuan.
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Narkoba dan Kejahatan atau UNODC menyerukan pendekatan kebijakan narkoba yang fokus pada pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan berpusat pada masyarakat.
Pada tahun 2021, rata-rata 1 dari 17 orang berusia 15–64 tahun di dunia telah menggunakan narkoba dalam setahun terakhir.
Temuan PBB memperkirakan sebagian besar penyalahgunaan narkoba terkait dengan kanabis dan opioid.
Sekitar 46 persen negara mencatatkan ganja di posisi pertama penyalahgunaan obat-obatan.
Berikutnya, 31 persen negara melaporkan opioid mendominasi peredaran obat terlarang, terutama heroin.
Sedangkan stimulan jenis amfetamin, seperti methamphetamine paling banyak digunakan oleh 13 persen negara.
Opioid termasuk ke dalam kelompok zat dengan kontribusi tertinggi bahaya obat, termasuk overdosis yang fatal.
Diperkirakan 60 juta orang terlibat dalam penggunaan opioid non-medis pada 2021, sebanyak 31,5 juta di antaranya menggunakan opioid, terutama heroin.
Selain penggunaan, produksinya opium ilegal global juga menjadi perhatian PBB.
Pada tahun 2022, produksi opium di Afganistan mencapai 6.200 ton atau setara dengan 80 persen dari perkiraan total produksi global sekitar 7.800 ton.
Selain Afganistan, ada pula Myanmar yang produksi opiumnya mencapai 795 ton dan Meksiko dengan 504 ton.
Pusat Penelitian, Data, dan Informasi Badan Narkotika Nasional (Puslitdatin BNN) mencatat peningkatan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia.