KOMPAS.com - Pemerhati komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan memperingatkan, konten manipulatif akan makin banyak jelang tahun politik 2024.
Ia mengatakan, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk membuat konten palsu yang meniru atau mengatasnamakan tokoh politik tertentu.
"Saat pelaksanaan pemilu, konten deepfake atau AI yang semacam ini akan banyak," kata Firman, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/5/2023).
Baca juga: Cara Gunakan AI Voice Detector untuk Deteksi Konten Suara Rekayasa
AI mampu mengolah foto, ilustrasi, suara, sampai video dengan memasukkan sampel sederhana, sehingga kekeliruan informasi di masyarakat tidak terbatas pada teks.
"Hoaks tidak tampil sekadar dalam bentuk tulisan atau pernyataan di media, tetapi langsung seolah orangnya yang ngomong," ujarnya.
Firman mencontohkan penyalahgunaan deepfake terhadap mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Video deepfake itu memanipulasi pernyataan Trump, seolah mendukung media sosial berbasis video buatan Rusia, RuTube.
Padahal, Trump tidak pernah membuat pernyataan semacam itu. Informasi palsu tersebut membuat masyarakat AS sampai mempertanyakan kebijakan politik negara.
Presiden AS yang kini menjabat, Joe Biden juga menjadi sasaran konten manipulatif.
Dikutip dari AP News, beredar video Biden membuat komentar yang menghina kelompok transgender.
Baca juga: Etika Menggunakan AI, agar Tidak Menjadi Penyebar Konten Menyesatkan
Ada pula video Hillary Clinton membaca teks transfobia, Bill Gates menyebut vaksin Covid-19 menyebabkan AIDS, dan aktris Emma Watson membaca Manifesto Hitler.
Semua video itu palsu hasil manipulasi.
Sementara di Indonesia beredar konten Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyanyikan lagu "Asmalibrasi".
Berdasarkan contoh-contoh di atas, AI dapat dimanfaatkan dalam banyak hal.
"Dapat dimanfaatkan untuk tujuan hiburan hingga tujuan yang serius, mampu memengaruhi keputusan orang banyak," kata Firman.