KOMPAS.com - Hari Kebebasan Pers Sedunia diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada Desember 1993, berdasarkan rekomendasi Konferensi Umum UNESCO.
Adapun tanggal peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia ditetapkan 3 Mei, untuk memperingati Deklarasi Windhoek, pernyataan prinsip kebebasan pers oleh wartawan surat kabar Afrika pada 1991.
Dikutip dari laman PBB, Hari Kebebasan Pers Sedunia menjadi pengingat kepada pemerintah berbagai negara tentang perlunya komitmen menghormati kebebasan pers.
Peringatan itu juga merupakan hari refleksi di kalangan profesional media tentang isu-isu kebebasan pers dan etika profesi, serta sebagai kesempatan untuk:
Baca juga: Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023: Tema Tahun Ini dan Sejarahnya
Tahun 2023 menandai peringatan 30 tahun Hari Kebebasan Pers Sedunia sejak diproklamasikan pada 1993.
Peringatan tahun ini mengusung tema Shaping a Future of Rights: Freedom of expression as a driver for all other human rights atau Membentuk Masa Depan Hak: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong untuk semua hak asasi manusia lainnya.
Pertumbuhan media independen di banyak negara dan munculnya teknologi digital telah memungkinkan arus informasi yang bebas.
Namun, kebebasan media, keamanan jurnalis, dan kebebasan berekspresi semakin terancam, yang berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia lainnya.
Komunitas internasional menghadapi banyak krisis: konflik dan kekerasan, ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang terus-menerus mendorong migrasi, krisis lingkungan dan tantangan terhadap kesehatan dan kesejahteraan orang-orang di seluruh dunia.
Pada saat yang sama, disinformasi dan misinformasi online maupun offline berkembang, dengan dampak serius pada institusi yang mendukung demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia.
Dalam Indeks Kebebasan Pers Sedunia 2023 yang disusun Reporters Without Borders (RSF), jurnalisme saat ini disebut terancam oleh keberadaan industri konten palsu.
Indeks 2023, yang mengevaluasi lingkungan jurnalisme di 180 negara dan wilayah, menyoroti efek cepat dari industri konten palsu di ekosistem digital terhadap kebebasan pers.
Di 118 negara (dua pertiga dari 180 negara yang dievaluasi oleh Indeks), sebagian besar responden melaporkan bahwa aktor politik di negara mereka sering atau secara sistematis terlibat dalam kampanye disinformasi atau propaganda besar-besaran.
Perbedaan antara informasi benar dan salah, nyata dan artifisial, fakta dan rekayasa, menjadi kabur sehingga membahayakan hak atas informasi.
Baca juga: KUHP Bahayakan Kebebasan Pers, Jurnalis Rentan Dikriminalisasi karena Buat Berita Berseri
Industri disinformasi menyebarkan konten manipulatif dalam skala besar, seperti yang ditunjukkan investigasi Forbidden Stories, sebuah proyek yang didirikan bersama oleh RSF.