KOMPAS.com - Aneksasi Tibet oleh China dimulai pada 1949, melalui serangkaian operasi militer dan tekanan politik.
Otoritas China menganggap integrasi Tibet sebagai langkah strategis untuk keamanan negara, khususnya di perbatasan barat daya.
Enam puluh empat tahun lalu, pada 28 Maret 1959, otoritas China membubarkan pemerintah Tibet yang dikepalai Dalai Lama.
Sejak saat itu, Tibet menyandang status sebagai Daerah Otonomi setingkat provinsi dari Republik Rakyat China.
Kendati demikian, status itu masih menjadi kontroversi karena sebagian pihak menganggap Tibet merupakan negara berdaulat yang diduduki secara ilegal oleh China.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim, Cadangan Air di Dataran Tinggi Tibet Diprediksi Turun Drastis pada 2050
Dikutip dari jurnal The Tibetan Rebellion of 1959 and China’s Changing Relations with India and the Soviet Union (2006), pembubaran pemerintah Tibet berawal dari aksi protes terhadap otoritas China di ibu kota Lhasa pada 10 Maret 1959.
Protes rakyat Tibet itu berkembang menjadi pemberontakan terhadap otoritas China yang telah menduduki Tibet sejak 23 Mei 1951 berkat Perjanjian Tujuh Belas Poin.
Inti perjanjian itu adalah Tibet mengakui dan bersedia bergabung dengan Republik Rakyat China.
Di sisi lain, China memberikan otonomi kepada Tibet untuk mempertahankan sistem pemerintahan tradisional di bawah kepemimpinan Dalai Lama.
Setelah perjanjian ditandatangani, otoritas China mulai menempatkan personel administratif dan militer mereka di Tibet guna memastikan kesepakatan tersebut terlaksana.
Namun, kehadiran para personil itu meningkatkan ketegangan di Tibet. Aksi protes berulang kali dilakukan oleh rakyat Tibet dan puncaknya terjadi pada 10 Maret 1959 di ibu kota Lhasa.
Baca juga: Setengah China Dilanda Kekeringan, Sentuh Dataran Tinggi Tibet
Otoritas China awalnya memerintahkan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) untuk bersikap defensif terhadap pemberontakan yang terjadi.