KOMPAS.com - Sekitar enam juta orang di Eropa menjadi korban Holocaust atau peristiwa pembunuhan massal oleh Nazi saat berkuasa di Jerman pada 1933-1945.
Kejahatan itu menargetkan orang-orang Yahudi, komunis, homoseksual, musuh politik, hingga penyandang difabel dari kalangan dewasa hingga anak-anak.
Saat itu Jerman dipimpin Adolf Hitler yang terobsesi pada ras Arya. Ia menganggap ras Arya lebih unggul di antara ras lainnya.
Dikutip dari History.com, kekejaman Hitler berlangsung selama Partai Nazi berkuasa, bahkan semakin gencar dilakukan saat Perang Dunia II (1939-1945).
Namun, satu lini pembunuhan massal itu berhasil dihentikan, yakni eutanasia terhadap kelompok difabel fisik maupun psikis.
Eutanasia merupakan tindakan mengakhiri hidup seseorang yang memiliki penyakit parah dan tidak bisa disembuhkan. Tindakan ini kerap dilakukan melalui metode suntik mati.
Namun yang dilakukan Nazi masuk kategori pembunuhan, karena eutanasia dilakukan tanpa persetujuan pasien.
Kejahatan itu diberi nama Program T.4, disusun secara sistematis oleh tim yang dipimpin Viktor Brack, pada 1939.
Awalnya, anak-anak yang diidentifikasi menyandang disabilitas diangkut dari seluruh wilayah lalu dibunuh. Tak hanya permukiman, mereka juga menyisir rumah sakit jiwa.
Anak-anak Yahudi dibawa dan dieksekusi tanpa surat keterangan terkait kondisi disabilitasnya. Sementara anak-anak ras lain melalui proses administrasi itu.
Pembunuhan dilakukan dengan menyuntikkan zat mematikan, atau gas beracun di ruang khusus sebuah kamp.
Kemudian program tersebut dikembangkan dan menargetkan kelompok difabel dewasa. Sebelum dihentikan pada Agustus 1941, program ini telah mengakibatkan 50.000 orang tewas.
Penghentian program T.4 berawal dari protes yang disampaikan oleh kalangan dokter dan pendeta, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Di bawah kepemimpinan Hitler yang kejam dan otoriter, tidak mudah untuk melayangkan protes. Bahkan Hitler tak segan membunuh lawan politiknya.
Namun, beberapa orang tetap berani untuk menulis surat protes dan mengirimnya langsung pada Sang Führer. Mereka menyebut program T.4 sebagai langkah biadab.
Puncaknya, Uskup Count Clemens von Galen mengecam program itu. Upaya tersebut akhirnya memberikan hasil yang diinginkan.
Hitler merasa keramaian protes seperti itu tidak perlu muncul, sehingga menangguhkan program eutanasia terhadap kelompok difabel.
Kendati demikian, pembunuhan sistematis pada kelompok lain terus berjalan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.