KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dinilai penting untuk segera disahkan.
Melalui aturan itu, negara dapat merampas aset yang berasal dari tindak pidana dan merugikan keuangan negara tanpa menunggu pembuktian perbuatan pidananya.
Kendati demikian, RUU Perampasan Aset tak kunjung disahkan meski sudah dikaji dan diusulkan selama lebih dari satu dekade.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, melalui keterangan tertulis Jumat (16/9/2022) mengatakan, pemerintah akan mendorong agar RUU itu bisa dibahas bersama DPR sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Sementara dalam rapat pleno, Selasa (20/9/2022), Badan Legislasi (Baleg) DPR akan memasukkan RUU Perampasan Aset ke Prolegnas Prioritas 2023.
Koordinator Substansi Analisis Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Azamul Fadhly Noor mengatakan, RUU Perampasan Aset memiliki sejumlah keuntungan.
Azamul mencontohkan, dalam sistem pemidanaan saat ini, obyek perampasan aset umumnya mencakup dua hal, yaitu hasil kejahatan dan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan atau aset-aset terkait dengan kejahatan.
"Namun, kita tidak menganut misalnya, bagaimana kalau misalnya hasil kejahatan tersebut diusahakan, dibisniskan, menghasilkan keuntungan, bisa tidak itu dirampas keuntungannya?" kata Azamul dalam tayangan podcast di YouTube PPATK Indonesia, Jumat (13/1/2023).
"Kita tidak menjangkau itu. Nah, RUU Perampasan Aset bisa menjangkau itu. Sehingga tidak ada sedikit pun celah pelaku kejahatan itu bisa menikmati hasil kejahatannya," tuturnya.
Dia menambahkan, RUU ini memungkinkan penegak hukum untuk menyita aset hasil kejahatan yang telah dibisniskan selama puluhan tahun.
"Tetap semua bisa dirampas. Karena itu adalah merupakan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang sebelumnya dia usahakan," ujar Azamul.
Aturan lain dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang dinilai penting yakni mengatasi aset hasil kejahatan yang dibawa kabur ke luar negeri.
"Kita di sini tentunya meminta negara yang bersangkutan untuk membantu mengembalikan aset kita ke negara kita," kata Azamul.
Dia menjelaskan, karena perkara hukum terkait aset hasil kejahatan tersebut berada di Indonesia, maka negara yang bersangkutan akan menggunakan metode perampasan aset tanpa penghukuman atau non-conviction based asset forfeiture (NCB).
Azamul mengatakan, apabila Indonesia tidak memiliki UU Perampasan Aset Tindak Pidana yang mengatur tentang NCB, maka negara yang bersangkutan kemungkinan akan menolak permintaan perampasan aset hasil kejahatan.
Berdasarkan prinsip resiprositas, mereka membutuhkan timbal-balik yang setara dengan bantuan yang telah diberikan untuk Indonesia.
"Kalau mereka punya undang-undang perampasan secara in rem, kita juga harus punya. Kalau kita tidak punya, maka tidak ada jaminan kita bisa membantu mereka seperti yang mereka bantu ke kita," ucap Azamul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.