KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengonfirmasi temuan kasus cacar monyet atau monkeypox pertama di Indonesia pada Sabtu (20/8/2022).
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril menyampaikan, pasien cacar monyet pertama adalah seorang laki-laki berusia 27 tahun dari DKI Jakarta.
"Dengan gejala tanggal 14 (Agustus) itu ada demam, kemudian juga ada pembesaran kelenjar," ujar Syahril dalam konferensi pers.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 23 Juli 2022 telah menetapkan cacar monyet sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional.
Seperti halnya pandemi Covid-19, deklarasi cacar monyet sebagai darurat kesehatan internasional juga memicu gelombang disinformasi dan misinformasi.
Misalnya, sebuah unggahan di media sosial Facebook, 5 Agustus 2022, mengaitkan cacar monyet dengan wabah kusta pada zaman Nabi Nuh.
"Inilah sebenarnya monkeypox. Ini adalah penyakit lepra dan ada dalam Alkitab," tulisnya dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Faktanya, cacar monyet dan kusta adalah dua penyakit yang berbeda.
Perbedaan mendasar antara kusta dan cacar monyet adalah sumber penyakitnya. Kusta disebabkan oleh bakteri, sementara cacar monyet disebabkan oleh virus.
Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Sedangkan cacar monyet disebabkan oleh virus dari famili yang sama dengan virus cacar (smallpox).
Selain klaim tersebut, beredar pula klaim yang menyatakan bahwa Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat mengklasifikasikan cacar monyet sebagai airborne disease atau penyakit yang menular lewat udara.
Faktanya, CDC tidak pernah menerbitkan klasifikasi bahwa cacar monyet menyebar di udara. Melalui laman resminya, CDC pada 29 Juli 2022, menjelaskan bahwa cacar monyet menyebar melalui kontak erat, personal, dari kulit-ke-kulit dengan orang yang terinfeksi.
Klaim keliru lainnya tentang cacar monyet adalah penyakit ini dapat menyebabkan kelumpuhan bagi orang yang terinfeksi.
Faktanya, gejala cacar monyet yang paling umum terjadi, yakni demam, sakit kepala, nyeri otot, sakit punggung, energi menurun, dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Menurut WHO, gejala ini disertai dengan kemunculan ruam yang dapat berlangsung selama dua hingga tiga minggu. Lesi berkembang mulai darat, terisi cairan, mengeras, menjadi kering, rontok, kemudian muncul lapisan kulit baru.