Kendati demikian, metode ini merupakan temuan yang relatif baru, sehingga masih minim riset ilmiah untuk membuktikan keamanannya.
Aturan atau rekomendasi penggunaannya pun masih nihil, termasuk dari organisasi kesehatan seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), Akademi Pediatri Amerika (AAP), atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).
Baca juga: Ibu Ini Pecahkan Rekor Donasi ASI Terbanyak, Hasilnya untuk Ribuan Bayi
Tidak hanya itu, Satgas ASI IDAI turut memberikan catatan khusus mengenai kemungkinan produk freeze-drying ASI sebagai radha'ah.
Radha'ah adalah hubungan mahram yang diakibatkan persusuan oleh seorang perempuan kepada bayi yang bukan anak kandungnya.
Naomi menyebut, permasalahan ini dinilai penting bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, mengingat radha'ah dapat menimbulkan hubungan mahram atau larangan pernikahan.
"Apabila bubuk freeze-drying ASI dilarutkan kembali dengan air, secara wujud warna serta rasanya kembali menjadi susu, maka berlaku ra?a'ah bagi semua pihak terkait," kata dia.
Baca juga: Apakah Payudara Implan Bisa Mengeluarkan ASI?
Ketua Satgas ASI IDAI itu melanjutkan, menyusui dan memerah ASI memang merepotkan, tetapi memiliki banyak manfaat dibandingkan mengubahnya menjadi bubuk agar lebih praktis.
"Menyusui langsung dari payudara ibu sangat direkomendasikan agar dapat terjalin kontak erat antara ibu dan bayi, menumbuhkan rasa aman dan meningkatkan ikatan orangtua-anak," terangnya.
"Menyusui bukan sekadar memberikan ASI," ingat Naomi.
Pihaknya pun memperingatkan semua pihak agar tidak gegabah mempromosikan atau memberikan ASI bubuk kepada bayi.
Terlebih, jika bayi terlahir dengan kondisi medis tertentu, seperti prematur atau mengalami gangguan kekebalan tubuh maupun penyakit kronis.
Pasalnya, Naomi menegaskan, zat aktif yang menjadi keunggulan ASI akan hilang dalam proses freeze-drying.
"Produk susu bubuk ini tidak steril proses pembuatannya, ditambah adanya risiko multiplikasi bakteri selama penyimpanan," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.