Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muncul Fenomena ASI Bubuk, IDAI Buka Suara

Kompas.com - 10/05/2024, 07:00 WIB
Diva Lufiana Putri,
Ahmad Naufal Dzulfaroh

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) buka suara terkait metode pembekuan air susu ibu (ASI) menjadi bubuk atau freeze-drying yang ramai di media sosial.

Ketua Satgas ASI IDAI, Naomi Esthernita Fauzia Dewanto menjelaskan, saat ini dampak pengeringan ASI menjadi bubuk pada komponen penting yang terkandung di dalamnya masih belum diketahui.

Metode tersebut diklaim dapat mempertahankan struktur molekul susu. Namun, mengingat penggunaan suhu tinggi dalam proses pembuatannya, freeze-drying turut berdampak pada rasa dan kualitas ASI.

"Tanpa bukti penelitian yang memadai, hingga saat ini belum jelas apakah freeze-drying ASI memiliki rasio protein, lemak, karbohidrat yang tepat sebagai sumber nutrisi penting yang dibutuhkan bayi, berikut zat aktif untuk kekebalan tubuh dan tumbuh kembang bayi," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (9/5/2024).

Baca juga: Susu Sapi Disebut Paling Sehat, Pakar: Dibanding Sufor dan Susu Hewan, ASI yang Terbaik!


ASI bubuk mengubah komponen utama

Metode yang juga dikenal sebagai teknik lyophilization ini melibatkan pembekuan ASI pada suhu ekstrem, yakni minus 50 derajat Celsius selama tiga hingga lima jam.

ASI beku tersebut kemudian diolah menjadi susu bubuk menggunakan teknik sublimasi. Teknik ini meliputi transisi ekstraksi air selama dua hari, langsung dari bentuk padat (es) menjadi gas (uap air) tanpa melewati fase cair.

Umumnya, 1 liter ASI segar dalam bentuk cair akan menghasilkan sekitar 140 gram susu bubuk.

Sayangnya, penelitian terhadap pembekuan ASI yang lazim dilakukan pada praktik rumahan menunjukkan dapat menimbulkan serangkaian perubahan fisik pada komponen utama ASI.

Baca juga: Ramai soal Fenugreek Jadi ASI Booster, Benarkah Memiliki Efek Samping?

Misalnya, pecahnya membran gumpalan lemak dan perubahan misel kasein, serta penurunan komposisi faktor bioaktif protein seiring lamanya penyimpanan dalam kondisi beku.

Di sisi lain, metode freeze-drying tidak melalui prosedur pasteurisasi yang bertujuan untuk membunuh bakteri berbahaya.

Menurut Naomi, pasteurisasi dalam metode ini sengaja dihindari untuk mempertahankan probiotik vital yang ada dalam ASI.

Namun, nihilnya pasteurisasi menandakan bahwa risiko kontaminasi tetap menjadi ancaman, khususnya saat penambahan air pada bubuk ASI sebelum dikonsumsi bayi.

Baca juga: WHO Rilis Pedoman Baru Pemberian Makanan Pendamping ASI untuk Anak Usia 6-23 Bulan

Masih minim riset ilmiah

Ilustrasi Air Susu Ibu, ASI, Manfaat ASISHUTTERSTOCK Ilustrasi Air Susu Ibu, ASI, Manfaat ASI

Naomi mengungkapkan, pengeringan beku ASI menjadi bentuk bubuk memiliki tujuan baik, salah satunya memperpanjang umur simpan ASI dari semula enam bulan di dalam freezer menjadi tiga tahun.

Mengubah ASI menjadi bubuk susu siap pakai pun membantu menghemat ruang penyimpanan ASI sekaligus memberikan kenyamanan bagi ibu yang sering bepergian.

Kendati demikian, metode ini merupakan temuan yang relatif baru, sehingga masih minim riset ilmiah untuk membuktikan keamanannya.

Aturan atau rekomendasi penggunaannya pun masih nihil, termasuk dari organisasi kesehatan seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), Akademi Pediatri Amerika (AAP), atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA).

Baca juga: Ibu Ini Pecahkan Rekor Donasi ASI Terbanyak, Hasilnya untuk Ribuan Bayi

Tidak hanya itu, Satgas ASI IDAI turut memberikan catatan khusus mengenai kemungkinan produk freeze-drying ASI sebagai radha'ah.

Radha'ah adalah hubungan mahram yang diakibatkan persusuan oleh seorang perempuan kepada bayi yang bukan anak kandungnya.

Naomi menyebut, permasalahan ini dinilai penting bagi mayoritas umat Islam di Indonesia, mengingat radha'ah dapat menimbulkan hubungan mahram atau larangan pernikahan.

"Apabila bubuk freeze-drying ASI dilarutkan kembali dengan air, secara wujud warna serta rasanya kembali menjadi susu, maka berlaku ra?a'ah bagi semua pihak terkait," kata dia.

Baca juga: Apakah Payudara Implan Bisa Mengeluarkan ASI?

Menyusui bukan sekadar memberi ASI

Ketua Satgas ASI IDAI itu melanjutkan, menyusui dan memerah ASI memang merepotkan, tetapi memiliki banyak manfaat dibandingkan mengubahnya menjadi bubuk agar lebih praktis.

"Menyusui langsung dari payudara ibu sangat direkomendasikan agar dapat terjalin kontak erat antara ibu dan bayi, menumbuhkan rasa aman dan meningkatkan ikatan orangtua-anak," terangnya.

"Menyusui bukan sekadar memberikan ASI," ingat Naomi.

Pihaknya pun memperingatkan semua pihak agar tidak gegabah mempromosikan atau memberikan ASI bubuk kepada bayi.

Terlebih, jika bayi terlahir dengan kondisi medis tertentu, seperti prematur atau mengalami gangguan kekebalan tubuh maupun penyakit kronis.

Pasalnya, Naomi menegaskan, zat aktif yang menjadi keunggulan ASI akan hilang dalam proses freeze-drying.

"Produk susu bubuk ini tidak steril proses pembuatannya, ditambah adanya risiko multiplikasi bakteri selama penyimpanan," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Pemadanan NIK Jadi NPWP, Ini yang Perlu Dipahami

Pemadanan NIK Jadi NPWP, Ini yang Perlu Dipahami

Tren
Usai Gelar Pesta Pranikah Mewah Anaknya, Mukesh Ambani Tak Lagi Jadi Orang Terkaya Asia

Usai Gelar Pesta Pranikah Mewah Anaknya, Mukesh Ambani Tak Lagi Jadi Orang Terkaya Asia

Tren
Jalan Kaki 30 Menit Membakar Berapa Kalori?

Jalan Kaki 30 Menit Membakar Berapa Kalori?

Tren
BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 3-4 Juni 2024

BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 3-4 Juni 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 2-3 Juni | Orang dengan Gangguan Kesehatan Tertentu yang Tak Dianjurkan Minum Air Kelapa

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 2-3 Juni | Orang dengan Gangguan Kesehatan Tertentu yang Tak Dianjurkan Minum Air Kelapa

Tren
Amankah Tidur dengan Posisi Kepala, Badan, dan Kaki Tidak Sejajar?

Amankah Tidur dengan Posisi Kepala, Badan, dan Kaki Tidak Sejajar?

Tren
Parade 6 Planet 3 Juni 2024, Bisa Dilihat Jam Berapa?

Parade 6 Planet 3 Juni 2024, Bisa Dilihat Jam Berapa?

Tren
Kemenag Siapkan 300 Kuota Jemaah Haji untuk Ikuti Safari Wukuf

Kemenag Siapkan 300 Kuota Jemaah Haji untuk Ikuti Safari Wukuf

Tren
Produk yang Tidak Harus Menyertakan Sertifikasi Halal, Apa Saja?

Produk yang Tidak Harus Menyertakan Sertifikasi Halal, Apa Saja?

Tren
Kisah Penerjunan Kucing dengan Parasut, Berjasa Basmi Tikus di Kalimantan

Kisah Penerjunan Kucing dengan Parasut, Berjasa Basmi Tikus di Kalimantan

Tren
Sepanjang Mei, Ada 4 Aturan Baru Pemerintah yang Tuai Kegaduhan Publik

Sepanjang Mei, Ada 4 Aturan Baru Pemerintah yang Tuai Kegaduhan Publik

Tren
Cincin Emas Berusia 2.300 Tahun Ditemukan di Tempat Parkir Yerusalem

Cincin Emas Berusia 2.300 Tahun Ditemukan di Tempat Parkir Yerusalem

Tren
Daftar Ormas Keagamaan yang Kini Bisa Kelola Lahan Tambang Indonesia

Daftar Ormas Keagamaan yang Kini Bisa Kelola Lahan Tambang Indonesia

Tren
Buku Karya Arthur Conan Doyle di Perpustakaan Finlandia Baru Dikembalikan setelah 84 Tahun Dipinjam, Kok Bisa?

Buku Karya Arthur Conan Doyle di Perpustakaan Finlandia Baru Dikembalikan setelah 84 Tahun Dipinjam, Kok Bisa?

Tren
8 Fenomena Astronomi Sepanjang Juni 2024, Ada Parade Planet dan Strawberry Moon

8 Fenomena Astronomi Sepanjang Juni 2024, Ada Parade Planet dan Strawberry Moon

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com