Kedua, penguatan manajemen diri. Mengacu pada Teori Presentasi diri (Self-presentation Theory) dan kerangka keyakinan (belief)-motivasi-niat (belief-motivation-intention framework) yang disitir Chou dan Lu dalam artikel mereka seperti disinggung sebelumnya, dapat dipahami bagaimana keputusan pembuat konten dibentuk.
Untuk mengubah keputusan yang diambil juga dapat menggunakan pemahaman yang sama. Niat dan motivasi kreator konten dalam pembuatan konten tergantung pada nilai presentasi dirinya dan keyakinan yang bersangkutan tentang dirinya.
Untuk itu, kreator konten penting didorong untuk mengontrol presentasi dirinya dan membuat presentasi diri yang bersesuaian dengan aturan atau norma dalam lingkungan sosialnya.
Dalam hal ini, manajemen diri penting diperkuat dengan meningkatkan evaluasi diri dan kontrol diri.
Tidak lupa peran komunitas virtual, yakni bila tindakan nekat diperkuat oleh dukungan komunitas maka pencegahan dan mereduksi tindakan nekat tersebut juga diperkuat oleh komunitas virtual yang anggotanya memiliki kesadaran dan memberikan nilai fungsional bagi kreator konten agar membuat konten yang bersesuaian dengan norma.
Dalam hal ini, komunitas virtual memiliki pengaruh sosial yang kuat dengan mendorong kepatuhan kepada norma dalam presentasi diri secara daring dan kepatuhan kreator konten kepada aturan. Hasil penelitian sudah menunjukkan peran nyata komunitas virtual semacam ini.
Ketiga, profesional, etis dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Apakah konten menjadi tak menarik bila tak berisikan tantangan yang sangat berbahaya, lelucon yang menimbulkan tekanan emosional dan menimbulkan resiko secara fisik, tindakan yang mempunyai risiko cedera serius, mengandung kekerasan dan mengkhawatirkan bagi emosi anak di bawah umur, vandalisme dan mengeksploitasi dan menyiksa hewan? Tampaknya tidak demikian.
Konten yang dibuat-buat, menyesatkan, tidak memiliki nilai edukatif sedikit pun seakan-akan hendak mengajarkan masyarakat untuk tidak bermoral dan tidak etis dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah demi ”tonton, suka, bagikan” (wiews, likes, shares) mengubah banyak orang, utamanya orang-orang muda menjadi perusak moral dan perilaku etis di masyarakat?
Pembuat konten sangat penting diingatkan terus menerus perihal peran penting media, termasuk media sosial, sebagaimana ditegaskan Carlos E. Cortes dalam bukunya ”The Children Are Watching: How the Media Teach about Diversity” bahwa media tak ada kurangnya untuk berlaku sebagai pendidik informal karena memang menyajikan informasi, mengorganisasikan ide, menyebarkan nilai-nilai, menciptakan dan memperkuat ekspektasi, dan menyediakan model perilaku.
Baik atau buruknya konten yang dibuat memiliki dampak bagi pemirsa terutama remaja dan anak-anak.
Amat penting untuk disadari besarnya dampak buruknya terhadap anak-anak yang berada pada fase usia rasa ingin tahu yang tinggi, namun belum memiliki taraf berpikir kritis yang memadai.
Kreator konten layak diedukasi agar melakukan sesuatu yang bernilai, yakni membuat konten dengan bermartabat.
Silakan saja mencipta konten sebisa mungkin kreatif dengan tetap menjaga sisi etis, moral, kepantasan, dan mempertimbangkan potensi dampak buruk fisik maupun psikis yang ditimbulkan. Tak ada salahnya juga untuk berguru pada kreator konten profesional.
Barangkali benar apa yang dinyatakan Joseph A. Hyrkin, CEO salah satu penerbitan digital dan platform global terkemuka, pada Vocmedia tahun 2017, seperti dikutip pada awal tulisan di atas, bahwa audiens memang tak lagi peduli platform (media sosial) mana konten tersebut dibagikan.
Bagi mereka terpenting adalah kreatornya, bahkan layaknya raja. Audiens akan mengikuti ke mana saja kreator yang dianggap membuat konten yang menarik.
Mencari nafkah dari media sosial melalui monetisasi konten tampak menjanjikan dan menggiurkan.
Meski begitu, untuk mewujudkannya tidak selalu mudah, bahkan bagi sebagian besar orang, dipandang sangat sulit karena menyita banyak waktu, tenaga, pengorbanan bahkan tak jarang lebih karena faktor keberuntungan.
Sebab, seperti dinyatakan Nil Solana Tort, tak jarang pengguna, dalam hal ini kreator konten, yang sudah berusaha jauh lebih keras, lebih karismatik dan lebih menyenangkan daripada kreator yang paling terkenal, tapi tetap saja mereka belum mencapai sejauh itu sehingga tak jarang menjadi putus asa.
Meski demikian, hal ini hendaknya tidak menjadi pembenaran untuk bertindak nekat apalagi sampai menghalalkan segala cara.
Alih-alih mencapai harapan yang ada malah membuat publik benci, tersangkut hukum bahkan berujung pada kematian.
Para kreator konten juga harus cerdik dalam menjembatani atau merekonsilisasi tuntutan yang seringkali kontradiktif antara audiens, sponsor, dan platform media sosial.
*Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.