Dengan demikian, kata Boddy, sekunder mencakup gaya hidup psikopat, serta lebih berfokus pada kekerasan dan perilaku antisosial.
"Elemen sekunder dan langkah-langkah untuk mengatasinya, sebagian besar didasarkan pada penelitian terhadap penjahat yang berada di penjara dan merupakan seorang psikopat, sehingga para peneliti saat ini merasa bahwa langkah-langkah tersebut tidak cocok untuk mengidentifikasi psikopati wanita," kata Boddy.
Penelitian yang mengamati psikopati pada wanita juga lebih sedikit dibandingkan pada pria, sehingga mungkin para penilai enggan menyebut kaum hawa sebagai psikopat.
Baca juga: 3 Psikopat Dunia yang Sejak Kecil Gemar Membunuh Hewan
Psikopat pria dan wanita awalnya diperkirakan memiliki rasio perbandingan sebesar 10:1. Namun, penelitian Boddy, angka tersebut sangatlah berbeda jika hanya dengan mengacu pada bagian primer LSRP.
"Hampir satu banding satu," kata Boddy, merujuk perkiraannya soal perbandingan psikopat pria dan wanita.
Kendati demikian, diperlukan penelitian skala besar terhadap orang dewasa yang dipilih secara acak untuk mendapatkan gambaran lebih pasti.
Boddy melanjutkan, meski diperkirakan 1 persen pria di dunia adalah psikopat, diagnosisnya berada pada salah satu ujung spektrum.
"Perkiraan (menggunakan bagian pertama dari LSRP menunjukkan) ada sekitar 23 persen pria yang meski bukan psikopat, memiliki cukup banyak sifat yang menjadi masalah bagi masyarakat," paparnya.
Merujuk penelitiannya sendiri yang didasarkan pada survei terhadap pekerja kantoran, ciri-ciri "pembawa masalah" yang sama juga dapat ditemukan pada wanita.
"Sekitar 12 persen hingga 13 persen wanita memiliki ciri-ciri tersebut, sehingga berpotensi menjadi masalah," imbuhnya.
Boddy pun menyebut, mengenali psikopati pada wanita dan pria adalah hal yang penting lantaran orang-orang seperti itu dapat berdampak besar di lingkungan kerja.
Dia mencontohkan, mereka mungkin akan mengesampingkan, menganiaya, atau bahkan mengintimidasi karyawan.
Selain itu, dia mencatat, bisnis yang dipimpin oleh orang-orang psikopat juga dapat kehilangan arah, yang memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap organisasi besar.
"Mereka melihat keserakahan, ketidakjujuran, serta kekejaman dari para petinggi dan ini melemahkan demokrasi dan supremasi hukum," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.