SALAH satu bentuk dari indahnya ilmu pengetahuan adalah dihasilkannya beragam teknologi untuk mempermudah kehidupan umat manusia.
Pengetahuan bahwa kuda bisa dipergunakan untuk mempercepat perpindahan orang yang akhirnya ditransformasi menjadi berbagai kendaraan seperti saat ini, adalah hasil kerja keras ilmu pengetahuan yang diwujudkan dalam berbagai produk untuk melayani kemudahan tersebut.
Begitu pula komputer dan bahan hal-hal kecil seperti bentuk pensil atau alat untuk
menuangkan cat, adalah refleksi nyata bahwa manusia menuju pada era yang ingin serba dimudahkan dalam kehidupannya.
Bisa jadi frasa “kemudahan” adalah filosofi paling mendasar dari berjalannya realitas industrialisasi, atau budaya industri pada manusia modern saat ini.
Ketika visualisasi dan narasi di ruang fisik makin terbatas, teknologi AI (artificial intelligence) sudah mulai mengatasinya.
Contoh, jika dahulu untuk membuat paper memerlukan waktu beberapa hari, bahkan beberapa bulan, hari ini kita bisa membuatnya dalam hitungan jam.
Jika dulu seorang desainer membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan untuk mendesain suatu gambar atau visual lainnya, saat ini bisa dibuat dengan lebih cepat.
Bahkan mungkin kedepan kita bisa mentransformasi sistem produksi yang selama ini memang pendekatannya masih konvensional atau semi modern, seperti dalam pertanian, menjadi lebih baik. Sehingga bahan makanan semakin melimpah dan orang yang kekurangan pangan bisa diatasi.
Apa dampak dari era kemudahan atau industrialisasi kemudahan ini pada narasi budaya manusia, ini yang akan didiskusikan dalam artikel ini.
Kebudayaan manusia saat ini seakan-akan bergerak menuju satu bahasa tunggal: “Budaya digital”. Sehingga dunia hari ini dikonstruksi melalui cara pandang tersebut.
Tidak peduli apakah manusia itu tinggal di gunung, pinggir sungai dan muara, lembah, desa atau di kota; Tidak peduli, apakah dia tinggal di dalam rumah atau di luar rumah, hari ini memungkinkan semuanya terkoneksi melalui satu bahasa tunggal, yakni bahasa internet.
Namun dunia hari ini juga kemudian dikonstruksi melalui paradigma lain yang
menghasilkan satu modal karakterisasi pada perilaku maupun persepsinya: “instan”.
Kata instan inilah yang kemudian melekat pada entitas masyarakat terutama kalangan berusia muda. Mereka kemudian disebut dengan generasi instan.
Disebut generasi instan karena mereka terkonstruksi untuk mendapatkan banyak hal tidak perlu effort lebih.
Misalnya, mereka tidak perlu mengetahui bahwa untuk menemukan desain HP seperti iPhone, tim kreatif di balik perusahaan Apple itu harus menghabiskan ribuan jam untuk merancang suatu desain, sampai dengan model yang kita rasakan hari ini.