Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tantan Hermansah
Dosen

Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta

Generasi Tanpa Karakter

Kompas.com - 28/11/2023, 11:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu bentuk dari indahnya ilmu pengetahuan adalah dihasilkannya beragam teknologi untuk mempermudah kehidupan umat manusia.

Pengetahuan bahwa kuda bisa dipergunakan untuk mempercepat perpindahan orang yang akhirnya ditransformasi menjadi berbagai kendaraan seperti saat ini, adalah hasil kerja keras ilmu pengetahuan yang diwujudkan dalam berbagai produk untuk melayani kemudahan tersebut.

Begitu pula komputer dan bahan hal-hal kecil seperti bentuk pensil atau alat untuk
menuangkan cat, adalah refleksi nyata bahwa manusia menuju pada era yang ingin serba dimudahkan dalam kehidupannya.

Bisa jadi frasa “kemudahan” adalah filosofi paling mendasar dari berjalannya realitas industrialisasi, atau budaya industri pada manusia modern saat ini.

Ketika visualisasi dan narasi di ruang fisik makin terbatas, teknologi AI (artificial intelligence) sudah mulai mengatasinya.

Contoh, jika dahulu untuk membuat paper memerlukan waktu beberapa hari, bahkan beberapa bulan, hari ini kita bisa membuatnya dalam hitungan jam.

Jika dulu seorang desainer membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan untuk mendesain suatu gambar atau visual lainnya, saat ini bisa dibuat dengan lebih cepat.

Bahkan mungkin kedepan kita bisa mentransformasi sistem produksi yang selama ini memang pendekatannya masih konvensional atau semi modern, seperti dalam pertanian, menjadi lebih baik. Sehingga bahan makanan semakin melimpah dan orang yang kekurangan pangan bisa diatasi.

Apa dampak dari era kemudahan atau industrialisasi kemudahan ini pada narasi budaya manusia, ini yang akan didiskusikan dalam artikel ini.

Kebudayaan manusia saat ini seakan-akan bergerak menuju satu bahasa tunggal: “Budaya digital”. Sehingga dunia hari ini dikonstruksi melalui cara pandang tersebut.

Tidak peduli apakah manusia itu tinggal di gunung, pinggir sungai dan muara, lembah, desa atau di kota; Tidak peduli, apakah dia tinggal di dalam rumah atau di luar rumah, hari ini memungkinkan semuanya terkoneksi melalui satu bahasa tunggal, yakni bahasa internet.

Namun dunia hari ini juga kemudian dikonstruksi melalui paradigma lain yang
menghasilkan satu modal karakterisasi pada perilaku maupun persepsinya: “instan”.

Kata instan inilah yang kemudian melekat pada entitas masyarakat terutama kalangan berusia muda. Mereka kemudian disebut dengan generasi instan.

Disebut generasi instan karena mereka terkonstruksi untuk mendapatkan banyak hal tidak perlu effort lebih.

Misalnya, mereka tidak perlu mengetahui bahwa untuk menemukan desain HP seperti iPhone, tim kreatif di balik perusahaan Apple itu harus menghabiskan ribuan jam untuk merancang suatu desain, sampai dengan model yang kita rasakan hari ini.

Sikap generasi instan ini kemudian lebih banyak berkutat pada posisi sebagai subyek user, bukan subjek produser; pelaku pengguna, bukan subjek pencipta atau pembuat.

Sikap dan kebiasaan inilah yang kemudian ditangkap oleh para pelaku industri kemudahan, bahkan seperti menjadi suatu platform universal, bahwa hanya dengan melayani umat manusia agar mendapatkan kemudahan mereka bisa mengeruk keuntungan.

Karena demi kemudahan itu juga, manusia hari ini akan rela merogoh modalnya tanpa melihat berapa besarnya.

Lihat saja mengapa super car tetap laku keras, meski harganya selangit. Karena selain benda itu menawarkan keindahan dan kemewahan, tapi juga memanjakan pemiliknya untuk mendapatkan beragam kemudahan.

Inilah tantangan sangat besar bagi generasi hari ini. Kasus seorang gadis belia berusia 19 tahun yang mengelabui rekan-rekannya sampai mampu menipu dengan jumlah lebih dari Rp 5 miliar, mengonfirmasi bukti sikap instan tersebut.

Jika industri ini tidak pernah berpikir dampak dari era kemudahan yang ditawarkan akan menghasilkan generasi instan, lalu siapa yang harus mengemban tanggung jawab agar dampak buruk dari kemunculan generasi instan tidak mengancam peradaban?

Di sinilah negara sebagai institusi yang diberikan amanah untuk tetap berpikir dan bertindak jernih mengelola fenomena pertumbuhan dan menguatnya generasi instan agar tidak menjadi ancaman.

Negara tidak boleh berpikir seperti kaum industrialis yang mengoptimalisasi hasrat kemudahan itu sebagai sumber keuntungan.

Negara harus tetap waras dan mengoptimalkan akal budinya untuk menjaga bahwa mereka yang kemudian terpapar untuk menjadi generasi instan tetap memahami bahwa proses menuju, mendapatkan, dan menemukan sesuatu itu tetap penting. Hal ini bukan hanya untuk diketahui, tetapi juga untuk dihayati dan dinikmati.

Inilah yang harus disebut sebagai pendidikan berkarakter. Segala sesuatu bisa didapatkan melalui proses adalah suatu karakter yang perlu tertanam pada generasi ini.

Kenikmatan atau ekstase mereka terhadap hal-hal yang serba instan harus diposisikan hanya sebagai bagian dari rekreasi kehidupan saja. Bukan suatu karakter, apalagi kebudayaan.

Maka dari itu prinsip serba instan: yang penting terkenal dan dikenal luas; yang penting berkuasa; yang penting ada back up, dan lain-lain itu, harus dipastikan tidak boleh masuk ke pada sistem, karena akan menghancurkan tatanan kehidupan.

Negara harus menjadi satu-satunya entitas tempat berkembang dan bertumbuhnya peradaban berkelanjutan, yang ditanam pada karakter kuat, yang mengetahui dan sekaligus memandu visi dan misi kehidupan umat manusia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com