Pasar Senen digunakan untuk menjual komoditas sayur-mayur dan keperluan sehari-hari. Sementara Tanah Abang khusus menjual tekstil, kelontong, dan sedikit sayuran.
Khusus beras, Belanda mengawasi secara ketat cara penjualan, tempat penjualan, dan peredarannya karena dipandang sebagai komoditas vital.
Bangunan pasar kala itu masih berupa bedeng bambu dan beratap rumbia. Pemilik petak yang umumnya orang China biasanya mendirikan tempat tinggal tak jauh dari pasar.
Pemerintah Belanda juga memberi kepercayaan kepada orang China untuk memungut pajak pasar.
Namun, peristiwa pembantaian orang-orang China pada 1740 menghancurkan Pasar Tanah Abang.
Baca juga: Pedagang Pasar Tanah Abang Sepi Pembeli tapi Ditagih Retribusi, F-PDIP DKI Akan Carikan Solusi
Memasuki abad ke-19, Pasar Tanah Abang semakin ramai sehingga diiznkan beroperasi dua hari, yakni Sabtu dan Rabu.
Selain mata uang China, alat tukar yang digunakan berupa mata uang Perancis, Turki, Hongaria, dan Jepang yang beredar di Batavia.
Banyaknya mata uang yang beredar di Batavia itu memunculkan bisnis transaksi jual beli mata uang asing di pinggir jalan.
Setelah penjajahan Belanda semakin mapan di Indonesia, wewenang pajak pasar tak lagi diserahkan kepada orang China, tetapi aparat pemerintah.
Selain retribusi pasar yang ditarik petugas pasar, masih ada pajak tak resmi yang dipungut preman.
Baca juga: Selain Tersaingi Live Shopping, Pedagang di Pasar Tanah Abang juga Tergerus Marketplace
Sampai akhir abad ke-19, Pasar Tanah Abang belum memiliki bangunan permanen, tetapi lantai bawahnya mulai dikeraskan dengan fondasi adukan.
Pada 1926, Gementee (Kotapraja Batavia) melakukan pembangunan pasar semi permanen. Tiga buah los yang masing-masing memanjang 200 meter dibangun dari tembok dan papan.
Saat orang Arab mulai berdatangan ke Batavia pada 1920, sebagian dari mereka tinggal di sekitar Tanah Abang.
Sejak saat itu, pedagang kambing mulai banyak bermunculan di Pasar Tanah Abang, karena kegemaran orang Arab makan daging kambing.