KOMPAS.com - Facekini menjadi salah satu atribut yang dikenakan masyarakat China untuk menghadapi suhu panas yang tengah terjadi.
Facekini adalah masker yang menutupi seluruh wajah. Masker ini memberikan lubang di bagian mata, hidung, dan mulut saja.
Selain menggunakan facekini, masyarakat China juga tampak membawa kipas portabel dan topi bertepi lebar untuk terhindar dari sengatan sinar UV. Jaket tahan UV ringan juga kerap digunakan.
Penggunaan facekini yang semakin populer itu dirasakan pula oleh penjual facekini, Wang.
"Dibandingkan sebelum pandemi, dua atau tiga tahun lalu, tahun ini jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Volume penjualannya pasti naik banyak tahun ini," ujarnya, dilansir dari Guardian.
Di sisi lain, banyak wanita Asia Timur yang menyukai kulit cerah. Oleh sebab itu, tak heran juga facekini semakin digandrungi.
Penggunaan facekini juga ditujukan untuk terhindar dari bahaya sinar UV yang bisa memicu penyakit kulit.
Baca juga: Rumah Sakit di AS Pakai Kantong Mayat Isi Es untuk Rawat Pasien Gelombang Panas
Dikutip dari China Daily, facekini diciptakan beberapa tahun yang lalu. Mulanya, facekini dibuat untuk melindungi kulit seseorang ketika mandi atau berenang.
Facekini kerap ditemui di pantai-pantai di seluruh negeri.
Namun, pada facekini generasi terbaru, material yang digunakan untuk membuat facekini adalah kain sintetis umum seperti nilon dan poliester.
Desainnya dibuat menutupi seluruh bagian wajah, kecuali mata, hidung, dan mulut.
Desain yang lebih rumit juga menampilkan bagian kain yang melindungi leher dan dagu.
Detail pinggiran di bagian atas mata juga didesain untuk menghalangi sinar matahari.
Baca juga: Teka-teki Hilangnya Menteri Luar Negeri China Selama 3 Pekan, Ada Apa?
Suhu udara di China naik mencapai lebih dari 35 derajat celsius. Sementara suhu permukaan tanah melonjak sampai 80 derajat celsius.
Diberitakan Hongkong Free Press, ahli klimatologi NASA Gavin Schmidt mengatakan, kenaikan suhu panas akan terjadi di beberapa wilayah.
"Kami melihat perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia, gelombang panas yang kami lihat di Amerika Serikat, Eropa, dan China memecahkan rekor," tuturnya.
Gelombang panas ini diprediksi akan membuat 2023 menjadi tahun terpanas dalam catatan sejarah.
"Dan kami mengantisipasi hal itu akan terus berlanjut. Alasannya adalah karena gas rumah kaca yang masuk ke atmosfer," tuturnya,
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.