Pada titik ini, kita berbicara isu yang lebih besar terkait penyediaan data pertanian, yakni tata kelola data pertanian nasional yang melibatkan Badan Pusat Statistik sebagai kantor statistik, K/L terkait, dan sektor swasta untuk berkolaborasi memperkuat sistem statistik pertanian nasional.
ST2023 dirancang untuk mengintegrasikan program sensus dan survei sesuai rekomendasi FAO tersebut.
Dalam sepuluh tahun mendatang, kebutuhan data pertanian yang lebih detail, mendalam, dan dinamis tahun-tahun antarsensus akan dipenuhi melalui berbagai pengumpulan data rutin dan Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI).
SITASI akan mengumpulkan informasi pokok pertanian (produksi tanaman dan peternakan serta variabel kunci lainnya) setiap tahun dan berbagai informasi mendalam yang mencakup tema ekonomi pertanian, tenaga kerja, metode produksi dan lingkungan, serta alat dan mesin pertanian secara periodik.
Secara teknis, integrasi program sensus dan survei pertanian yang dilakukan mendapatkan asistensi dari tim ahli statistik pertanian FAO.
Hal ini dijalankan melalui program 50x2030 initiative untuk menutup gap ketersediaan dan penggunaan data pertanian di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Pelaksanaan sensus pertanian lima tahun sekali akan memperkokoh integrasi program sensus dan survei yang telah dirancang tersebut melalui penyediaan kerangka sampel untuk pelaksanaan SITASI.
Salah satu isu krusial dalam perancangan survei adalah ketersediaan kerangka sampel yang lengkap dan terkini sebagai basis pemilihan sampel.
Sensus pertanian yang lebih sering juga akan meningkatkan akurasi data dengan menekan dua musuh utama sensus, yakni kesalahan cakupan (coverage errors) dan kesalahan muatan (content errors).
Hal ini dimungkinkan karena perencanaan sensus menjadi lebih matang dan presisi melalui proses perulangan atau siklus perencanaan yang lebih sering.
Di Amerika Serikat yang sensus pertaniannya setiap lima tahun sekali, proses perencanaan untuk sensus pertanian berikutnya langsung dimulai setelah hasil sensus resmi dirilis.
Dengan demikian, pengalaman dan lesson learned yang diperoleh dari sensus sebelumnya dapat segera diterapkan untuk meningkatkan kualitas sensus berikutnya tanpa menunggu jeda waktu yang cukup lama, yakni sekitar empat tahun, seperti yang dialami di Indonesia selama ini.
Pada saat yang sama, engagement dengan unit usaha pertanian (responden), mitra pengumpul data lapangan, dan stakeholders kunci lainnya dapat lebih terjaga.
Di luar konteks akurasi data, satu hal yang sering luput dari perhatian adalah bahwa pelaksanaan sensus pertanian sangat membantu dalam menggerakkan ekonomi di wilayah pedesaan.
Sebagian besar dana sensus sebetulnya dihabiskan untuk operasional lapangan, khususnya upah petugas lapangan, yang dikelola oleh kantor statistik di level kabupaten/kota.