Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Ironi Negara Kepulauan

Kompas.com - 14/06/2023, 11:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SECARA geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari daerah-daerah yang memiliki wilayah laut lebih dominan (sea based) dan yang luas daratan lebih besar (land based). Masing-masing memiliki keunggulan komparatif.

Namun bila melihat bagaimana negara kepulauan ini dikelola, akan ditemukan satu cara pandang pengelolaan yang tidak seimbang, yakni orientasi pembangunan masih dominan di darat, sementara laut belum menjadi prioritas.

Terkait ini, bagian utama yang perlu diperiksa dalam negara konstitusi adalah pada regulasinya. Karena regulasi merupakan pijakan bagaimana negara serta daerah diatur dan dikelola, sebagai payung hukum, juga koridor berjalannya pemerintahan.

Baca juga: Mengapa Indonesia Disebut Negara Kepulauan?

Sekalipun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 25A menyebut "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Namun sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pada Pasal 18 hanya memberikan kewenangan bagi semua pemerintah provinsi untuk mengelola laut seluas 12 mil, diukur dari garis air terendah ke arah laut lepas atau perairan kepulauan.

Dengan pasal itu terlihat pemerintah pusat memosisikan semua provinsi dalam topografi yang seragam: kontinental. Sekalipun pada faktanya sejumlah daerah memiliki karakteristik wilayah atau ‘potential base’ lebih besar di laut.

Provinsi Maluku, misalnya, dengan 1.340 jumlah pulau, persentase lautnya mencapai 92,4 persen sementara daratan 7,6 persen. Provinsi Maluku Utara yang memiliki 1.474 jumlah pulau, persentase lautnya 69,08 persen dan luas daratan 30,92 persen. Itu artinya prinsip-prinsip keadilan dan proporsionalitas tak terejawantahkan. Semua daerah dilihat serta dikelola secara sama, sekalipun memiliki atau ada dalam karakteristik wilayah yang tak sama.

Daerah kepulauan merugi, karena lebih dari separuh wilayah lautnya menjadi teritori dan dikelola pemerintah pusat. Meski hasilnya kemudian dibagikan lagi ke daerah. Namun tetap belum proporsional.

Hal itu terlihat dalam sistem Dana Bagi Hasil (DBH) sektor perikanan yang sejauh ini belum adil dan tidak proporsional, karena 20 persen ke pemerintah pusat, dan 80 persen dibagikan secara merata ke seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Dalam logika pembagian persentase DBH sektor perikanan di atas, jelas nir perspektif kepualauan.

Semestinya bila mau adil, sebelum dibagikan ke seluruh Indonesia, diberikan persentase tersendiri ke daerah penghasil.

Ketidakadilan juga terlihat dalam pengalokasian anggaran negara. Dana Alokasi Umum (DAU), misalnya, lagi-lagi luas daratan menjadi pertimbangan mendasar, sedangkan luas laut tidak dihitung.

Dalam pembangunan infrastruktur, situasi yang tidak adil ini juga gamblang. Misalnya, infrastrukutur jalan dan jembatan di wilayah kontinental dibangun dengan pesat, mendapat alokasi anggaran yang fantastis. Sementara sarana atau infrastruktur perhubungan di daerah berbasis laut dan pulau, hingga saat ini masih memprihatinkan. (Lihat “Realitas Tata Kelola Transportasi Laut yang Mengecewakan”.)

Situasi yang sama juga dapat dilihat dari minimnya perhatian dan keberpihakan negara terhadap masyarakat pesisir, terutama yang mendiami pulau-pulau terdepan, terpencil dan tertinggal. Rata-rata para nelayan itu hidup dalam kemiskinan.

Baca juga: Cetak Sejarah, Indonesia Jadi Negara Kepulauan Pertama yang Punya TSS Kepulauan

Alih-alih berpihak, pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), yang mendorong liberalisasi sumber daya perikanan dan memaksa nelayan-nelayan skala kecil berkompetisi dengan industri perikanan skala besar di lautan Indonesia.

Hal tersebut tentu akan membuat kehidupan nelayan semakin tersudutkan. Pasalnya, sebelum adanya PIT pun jumlah nelayan di Indonesia telah mengalami penurunan drastis. Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut Tahun 2021, jumlah nelayan tangkap di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan setidaknya dalam 10 tahun terakhir.

Tahun 2010, jumlah nelayan tangkap tercatat 2.16 juta orang. Pada tahun 2019, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Artinya, jumlah nelayan telah hilang kurang lebih 460 ribu orang sepanjang 2010-2019.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Menang Pemilu, Narendra Modi Bakal Jadi PM India 3 Periode

Menang Pemilu, Narendra Modi Bakal Jadi PM India 3 Periode

Tren
Alami Auto Brewery Syndrome, Wanita Asal Kanada Mabuk 2 Tahun meski Tak Minum Alkohol

Alami Auto Brewery Syndrome, Wanita Asal Kanada Mabuk 2 Tahun meski Tak Minum Alkohol

Tren
Orang Indonesia Konsumsi Mikroplastik Terbanyak di Dunia, Apa Bahayanya?

Orang Indonesia Konsumsi Mikroplastik Terbanyak di Dunia, Apa Bahayanya?

Tren
Duduk Perkara Hasto Kristiyanto Diperiksa Polda Metro Jaya, Diduga Sebarkan Berita Bohong

Duduk Perkara Hasto Kristiyanto Diperiksa Polda Metro Jaya, Diduga Sebarkan Berita Bohong

Tren
Cara Login Menggunakan Fingerprint atau Face Recognition di Aplikasi Mobile JKN

Cara Login Menggunakan Fingerprint atau Face Recognition di Aplikasi Mobile JKN

Tren
Kartu Lansia Jakarta Cair Juni 2024, Berikut Jadwal, Besaran, dan Cara Ceknya

Kartu Lansia Jakarta Cair Juni 2024, Berikut Jadwal, Besaran, dan Cara Ceknya

Tren
Bikin SIM Harus Punya BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2024, Bagaimana jika Tunggak Iuran?

Bikin SIM Harus Punya BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2024, Bagaimana jika Tunggak Iuran?

Tren
Head to Head Indonesia Vs Irak, Skuad Garuda Terakhir Menang 24 Tahun Lalu

Head to Head Indonesia Vs Irak, Skuad Garuda Terakhir Menang 24 Tahun Lalu

Tren
Pendaftaran Jalur Mandiri Undip Dibuka, Klik Pendaftaran.undip.ac.id

Pendaftaran Jalur Mandiri Undip Dibuka, Klik Pendaftaran.undip.ac.id

Tren
UU KIA Disahkan, Berikut 7 Poin Penting yang Harus Diketahui

UU KIA Disahkan, Berikut 7 Poin Penting yang Harus Diketahui

Tren
Twitter Kini Izinkan Konten Porno, Kominfo Ancam Tutup

Twitter Kini Izinkan Konten Porno, Kominfo Ancam Tutup

Tren
Formasi CPNS 2024 Sudah Diumumkan, Berikut Instansi yang Kuotanya Paling Banyak

Formasi CPNS 2024 Sudah Diumumkan, Berikut Instansi yang Kuotanya Paling Banyak

Tren
AI untuk Kemaslahatan dan Ramah Penyandang Disabilitas

AI untuk Kemaslahatan dan Ramah Penyandang Disabilitas

Tren
Puluhan Penumpang United Airlines Alami Sakit Misterius Saat Terbang, Ini Dugaan Penyebabnya

Puluhan Penumpang United Airlines Alami Sakit Misterius Saat Terbang, Ini Dugaan Penyebabnya

Tren
Kisah Pria yang Menyelam ke Dasar Lautan Selama Satu Dekade untuk Temukan Jasad Istrinya

Kisah Pria yang Menyelam ke Dasar Lautan Selama Satu Dekade untuk Temukan Jasad Istrinya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com