Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ironi Negara Kepulauan

Namun bila melihat bagaimana negara kepulauan ini dikelola, akan ditemukan satu cara pandang pengelolaan yang tidak seimbang, yakni orientasi pembangunan masih dominan di darat, sementara laut belum menjadi prioritas.

Terkait ini, bagian utama yang perlu diperiksa dalam negara konstitusi adalah pada regulasinya. Karena regulasi merupakan pijakan bagaimana negara serta daerah diatur dan dikelola, sebagai payung hukum, juga koridor berjalannya pemerintahan.

Sekalipun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 25A menyebut "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Namun sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pada Pasal 18 hanya memberikan kewenangan bagi semua pemerintah provinsi untuk mengelola laut seluas 12 mil, diukur dari garis air terendah ke arah laut lepas atau perairan kepulauan.

Dengan pasal itu terlihat pemerintah pusat memosisikan semua provinsi dalam topografi yang seragam: kontinental. Sekalipun pada faktanya sejumlah daerah memiliki karakteristik wilayah atau ‘potential base’ lebih besar di laut.

Provinsi Maluku, misalnya, dengan 1.340 jumlah pulau, persentase lautnya mencapai 92,4 persen sementara daratan 7,6 persen. Provinsi Maluku Utara yang memiliki 1.474 jumlah pulau, persentase lautnya 69,08 persen dan luas daratan 30,92 persen. Itu artinya prinsip-prinsip keadilan dan proporsionalitas tak terejawantahkan. Semua daerah dilihat serta dikelola secara sama, sekalipun memiliki atau ada dalam karakteristik wilayah yang tak sama.

Daerah kepulauan merugi, karena lebih dari separuh wilayah lautnya menjadi teritori dan dikelola pemerintah pusat. Meski hasilnya kemudian dibagikan lagi ke daerah. Namun tetap belum proporsional.

Hal itu terlihat dalam sistem Dana Bagi Hasil (DBH) sektor perikanan yang sejauh ini belum adil dan tidak proporsional, karena 20 persen ke pemerintah pusat, dan 80 persen dibagikan secara merata ke seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Dalam logika pembagian persentase DBH sektor perikanan di atas, jelas nir perspektif kepualauan.

Semestinya bila mau adil, sebelum dibagikan ke seluruh Indonesia, diberikan persentase tersendiri ke daerah penghasil.

Ketidakadilan juga terlihat dalam pengalokasian anggaran negara. Dana Alokasi Umum (DAU), misalnya, lagi-lagi luas daratan menjadi pertimbangan mendasar, sedangkan luas laut tidak dihitung.

Dalam pembangunan infrastruktur, situasi yang tidak adil ini juga gamblang. Misalnya, infrastrukutur jalan dan jembatan di wilayah kontinental dibangun dengan pesat, mendapat alokasi anggaran yang fantastis. Sementara sarana atau infrastruktur perhubungan di daerah berbasis laut dan pulau, hingga saat ini masih memprihatinkan. (Lihat “Realitas Tata Kelola Transportasi Laut yang Mengecewakan”.)

Situasi yang sama juga dapat dilihat dari minimnya perhatian dan keberpihakan negara terhadap masyarakat pesisir, terutama yang mendiami pulau-pulau terdepan, terpencil dan tertinggal. Rata-rata para nelayan itu hidup dalam kemiskinan.

Alih-alih berpihak, pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), yang mendorong liberalisasi sumber daya perikanan dan memaksa nelayan-nelayan skala kecil berkompetisi dengan industri perikanan skala besar di lautan Indonesia.

Hal tersebut tentu akan membuat kehidupan nelayan semakin tersudutkan. Pasalnya, sebelum adanya PIT pun jumlah nelayan di Indonesia telah mengalami penurunan drastis. Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut Tahun 2021, jumlah nelayan tangkap di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan setidaknya dalam 10 tahun terakhir.

Tahun 2010, jumlah nelayan tangkap tercatat 2.16 juta orang. Pada tahun 2019, jumlahnya tercatat hanya 1.83 juta orang. Artinya, jumlah nelayan telah hilang kurang lebih 460 ribu orang sepanjang 2010-2019.

Ironisnya, penangkapan ikan oleh industri perikanan skala besar tidak diikuti oleh upaya hilirisasi produk perikanan di daerah-daerah kepulaun, yang tentu saja diharapkan dapat menyerap tenaga kerja, memangkas angka pengangguran.

Bahkan Lumbung Ikan Nasional yang pernah dicanangkan di Maluku, misalnya, hampir dua dekade ini tak kunjung ditindaklanjuti dengan sandaran regulasi dan kebijakan yang konkret dan relevan. Padahal hilirisasi produk perikanan menjadi strategis karena selain membuka lapangan kerja baru, yang lebih penting adalah hasil laut akan punya nilai tambah, karena tidak lagi dibawa keluar negeri dalam bentuk raw material.

Realitas itu memperlihatkan bahwa laut masih terus dipunggungi. Sesuatu yang tentu saja bertentangan dengan logika dan sejarah bagaimana Indonesia bisa mendapatkan pengakuan internasional atas teritori dan kedaulatan laut.

Mengaktualisasi Logika UNCLOS

Saat diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan wilayah yang meliputi Hindia Belanda, atau wilayah bekas koloni Belanda, Indonesia belumlah menjadi sebuah negara kepulauan.

Sarwono Kusumaatmadja, dalam buku “Visi Maritim Indonesia, Apa Masalahnya?” (Seskoal, 2002), mengatakan, saat itu sesuai dengan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939, batas laut Indonesia hanya 3 mil laut dari garis pantai. Dengan demikian, ada sejumlah perairan antar pulau menjadi wilayah internasional.

Dalam rezim hukum laut dengan perhitungan semacam itu, luas teritorial laut Indonesia hanya sekitar 100.000 km2. Itu berarti, penguasaan dan kewenangan pengelolaan laut yang jauh lebih sempit dibandingkan saat ini.

Dalam situasi semacam itu, ada banyak celah di antara gugusan pulau yang menjadi perairan internasional. Hal tersebut tentu saja merugikan Indonesia sebagai sebuah negara baru pada saat itu, terutama secara ekonomi, politik, serta pertahanan dan keamanan nasional.

Menyikapi kondisi yang ada, sebagai negara yang memiliki komposisi wilayah yang terdiri dari laut dan pulau yang sering disebut pula sebagai tanah air, diupayakanlah advokasi politik internasional. Pada 13 Desember 1957, pemerintah Indonesia melalui deklarasi Perdana Menteri Ir. Djuanda mengklaim seluruh perairan antar pulau di Indonesia sebagai wilayah teritorial nasional Indonesia.

Momentum itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, sebuah pernyataan strategis dan filosofis sebagai sebuah negara kepulauan (archipelago). Dengan pernyataan itu, laut adalah penghubung antar pulau, bukan sebagai pemisah.

Rupanya klaim Indonesia itu bersamaan dengan adanya upaya memperpanjang batas teritorial laut negara-negara di dunia, menjadi 12 mil dari pantai. Situasi itu kemudian dimanfaatkan Indonesia untuk memperjuangkan pengakuan internasional.

Perjuangan tidak mudah, karena mendapat tantangan dari sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat. Namun akhirnya tahun 1982 lahirlah konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi itu mengakui eksistensi negara kepulauan, termasuk Indonesia, sekaligus mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang turut diperjuangkan sejumlah negara di Amerika Latin.

Setelah diratifikasi oleh 60 negara, UNCLOS kemudian resmi berlaku secara internasional pada tahun 1994. Dengan begitu Indonesia kemudian mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional sebesar 3,1 juta km2.

Itu artinya wilayah perairan warisan Hindia Belanda yang semula hanya 100.000 km2 ditambah 2,7 juta km2 ZEE. Sehingga bagian yang sebelumnya adalah perairan internasional di ZEE dapat menjadi hak berdaulat Indonesia untuk memanfaatkan semua sumber daya alam yang terkandung didalamnya, termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya.

Konsep negara kepulauan melalui UNCLOS itu telah memberikan anugerah dan keuntungan yang luar biasa dan signifikan bagi Indonesia.

Tentu tak berlebihan rasanya daerah-daerah dengan basis wilayah dan potensi sumber daya alam di laut memperjuangkan keadilan yang sama bagi daerahnya. Logika Indonesia dan sejumlah negara kepulauan dalam memperjuangkan UNCLOS, mestinya dapat diturunkan dalam konteks nasional.

Tidak adil bahwa semua daerah diatur dengan model regulasi dan pertimbangan alokasi anggaran yang sama. Karena berbeda, supaya adil dalam pengelolaan, daerah yang basis dan wilayahnya lebih besar di laut harus memiliki kewenangan yang jauh lebih besar dalam mengelola setiap potensi lautnya.

Bagaimana caranya? Jika Indonesia dan sejumlah negara kepulauan lainnya di dunia diatur dengan Hukum Laut internasional yang berbeda, yakni melalui UNCLOS,  maka sepatutnya pula daerah-daerah kepulauan di Tanah Air diatur melalui regulasi yang bersifat khusus atau specific regulation.

Adanya perlakuan khusus melalui pendekatan regulasi, seperti yang diajukan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepulauan yang pernah masuk Prolegnas, atau mengakomodasi gagasan otonomi khusus untuk Maluku Raya yang wilayah lautnya meliputi lebih dari 20 persen laut Indonesia, bisa menjadi solusi sehingga laut tak lagi dipunggungi di negara kepulauan ini.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/14/115513565/ironi-negara-kepulauan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke