Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Josua Sitompul
Pegawai Negeri Sipil

Koordinator Hukum dan Kerja Sama Ditjen Aptika. Legal Drafter. Alumnus Faculty of Law Maastricht University. Pengajar pada Fakultas hukum Universitas Indonesia. Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community.

Subyektivitas Dalam Penilaian Legalitas Konten

Kompas.com - 30/03/2023, 17:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK pihak menilai, ketentuan konten ilegal yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberangus kebebasan pers, mengekang kebebasan berpendapat, atau merupakan bentuk draconian law.

Penilaian tersebut sering ditujukan terhadap ketentuan tentang penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan ketentuan tentang penyebaran konten kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Kedua pasal tersebut sudah beberapa kali diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa putusan menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan konstitusi.

Baca juga: Peneliti UGM: Hentikan Konten Media Sosial yang Berujung Maut

Aturan dalam kedua pasal tersebut merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia yang dimungkinkan oleh undang-undang. Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Akan tetapi, konstitusionalitas suatu pasal tidak serta merta memberikan jaminan bahwa pasal tersebut diterapkan dalam praktik dengan tepat. Salah satu pertanyaan yang muncul ialah bagaimana sebenarnya menentukan legalitas dari suatu konten, khususnya konten yang berada dalam zona abu-abu?

Kerumitan Penentuan Legalitas Konten

Subyektivitas dalam penilaian konten merupakan satu masalah utama dalam menentukan legalitas konten. Subyektivitas lahir dari perbedaan persepsi. Pengirim dapat mempersepsikan bahwa konten yang dia kirim tidak melanggar hukum, tetapi penerima dapat menilai sebaliknya.

Perbedaan persepsi dapat dipengaruhi banyak faktor, seperti agama, keluarga, masyarakat, pendidikan, budaya, pengalaman, dan kepentingan. Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam memaknai atau menafsirkan konten. Besar kemungkinan terdapat bias antara apa yang dimaksudkan pengirim dengan apa yang dipahami penerima konten.

Dalam hal penerima konten melaporkan suatu konten kepada aparat penegak hukum, persepsi siapakah yang digunakan untuk menentukan melanggar tidaknya konten tersebut?

Dalam praktik, sering terjadi, persepsi yang digunakan ialah persepsi ahli. Padahal, persepsi ahli dapat berbeda dengan persepsi pengirim dan penerima. Bahkan, persepsi ahli dapat berbeda dengan persepsi aparat penegak hukum mengenai konten yang dipermasalahkan.

Dalam hal persepsi ahli berbeda dengan persepsi penyidik, bisa jadi penyidik mencari ahli lain dengan persepsi yang sejalan dengan kepentingan penyidikan.

Kerumitan lainnya adalah sampai sejauh mana seseorang boleh berpendapat mengenai satu hal? Pertanyaan ini juga memiliki unsur subyektif. Dapatkah seseorang berpendapat berdasarkan pengetahuannya yang terbatas? Apakah seseorang yang tidak memiliki pemahaman yang komprehensif tidak boleh berpendapat?

Misalnya, seorang awam berpendapat di media sosial bahwa satu undang-undang yang baru saja ditetapkan merupakan pesanan negara asing. Lalu, ketika dia diminta untuk membuktikannya, dia tidak mampu memberikan fakta-fakta yang memadai. Apakah itu artinya dia telah menyebarkan berita bohong?

Contoh lain ialah sampai sejauh mana seseorang dapat mengungkapkan keyakinannya di sosial media tentang ada atau tidaknya Tuhan? Jika seorang profesor teologi berpendapat bahwa Tuhan itu ada, sedangkan seorang mahasiswa hukum menyakini sebaliknya, apakah pendapat profesor lebih tinggi nilainya dari keyakinan mahasiswa?

Baca juga: Anggota Komisi I DPR Sebut UU ITE Perlu Direvisi agar Selaras dengan KUHP

Bagaimana jika sebaliknya terjadi: seorang mahasiswa linguistik berpendapat bahwa Tuhan itu ada, sedangkan profesor tersebut meyakini tidak? Dengan pertanyaan lain, jika seseorang harus mengetahui banyak hal, seperti ekonomi, hukum dan politik untuk memberikan pendapat akan satu masalah, apakah hanya ahli yang boleh berpendapat?

Lagipula sejauh mana seorang ahli dapat memahami satu permasalahan secara holistik?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com