Misalnya, apa hubungan antara pengirim dan penerima? Apakah mereka suami dan istri? Hubungan suami istri mungkin dapat menidakan unsur pidana transmisi konten pornografi.
Apakah hubungan para pihak adalah karwayan dan majikan? Hubungan tersebut dapat mengindikasikan adanya posisi dominan yang dapat diterapkan salah satu pihak. Analisa terhadap konteks juga mempertanyakan permasalahan apa yang terjadi di antara para pihak sebelum pelaku mengirimkan konten yang bermasalah.
Apakah pengirim konten memiliki hubungan hutang piutang dengan pelapor? Fakta bahwa pengirim konten sudah menagih hutang berkali kali tetapi tidak diindahkan korban mungkin telah mendorongnya mengirimkan SMS ke beberapa rekan kantor korban.
Media yang digunakan oleh pengirim konten juga penting dianalisa. Twitter memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pesan atau gagasan. Karena itu, pengirim konten termotivasi untuk mereduksi gagasannya ke dalam batasan yang ditentukan platform.
Dalam reduksi tersebut, pengirim dapat saja menggunakan banyak singkatan atau kata yang bermakna ganda.
Analisa terhadap penerima berhubungan dengan, misalnya berapa orang yang telah menerima konten yang dipermasalahkan? Jika konten hanya dikirimkan dari satu orang ke satu orang lain, perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam kategori mendistribusikan konten penghinaan.
Esensi dari penghinaan ialah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang untuk diketahui umum. Fakta bahwa seseorang mengirimkan konten pornografi kepada istrinya juga penting dalam analisa terhadap penerima. Demikian juga konten yang dikirim dari seorang dosen kepada mahasiswanya.
Fakta bahwa satu konten yang diunggah di satu akun media sosial tetapi tidak ada satupun pengguna akun lain yang memberi respon juga penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan apakah konten tersebut telah melanggar hukum. Bisa dibayangkan, jika seseorang menghina orang lain tetapi korban tidak merasa terhina. Dalam hal ini, tidak ada pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Bagaimana jika satu konten direspon dengan emoji saja, misalnya emoji marah, tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Misalnya, seorang pengguna akun medsos, berusaha untuk mengajak beberapa pengguna akun lainnya untuk membenci korban karena agamanya.
Lalu, hanya ada satu orang yang memberikan emoji marah. Apakah adanya konten dan emoji marah tersebut cukup untuk menjerat pelaku? Emoji marah dapat ditujukan terhadap konten yang bisa ditafsirkan bahwa penerima setuju dan akhirnya membenci korban.
Akan tetapi, emoji tersebut juga dapat ditafsirkan bahwa ia marah terhadap pengirim konten, karena pengirim telah memprovokasi orang lain untuk membenci orang lain.
UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mencabut ketentuan pidana dalam Pasal 27 ayat (1) terkait kesusilaan, Pasal 27 ayat (3) terkait penghinaan dan pencemaran nama baik, dan Pasal 28 ayat (2) terkait SARA.
Latar belakang pencabutan ketiga pasal dalam UU ITE tersebut ialah karena KUHP telah mengatur norma hukum yang sama dalam rumusan yang berbeda. Meskipun demikian, analisa terhap konten, konteks, dan penerima juga penting untuk diterapkan dalam penegakan hukum atas pelanggaran konten-konten ilegal dalam KUHP.
Diakui, penggunaan analisa konten, konteks dan penerima dalam penegakan hukum akan menimbulkan beban bagi aparat penegak hukum. Mereka perlu menggunakan sumber daya yang lebih besar dan waktu yang lebih banyak.
Akan tetapi, jika kita berpegangan pada tanggung jawab penegak hukum menemukan suatu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat lagi keraguan, bukankah semua usaha tersebut sepadan? Bukankah dengan menemukan kebenaran material, jalan menuju tegaknya hukum dan keadilan terbuka semakin lebar?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.