KOMPAS.com - Penderita stroke biasanya akan mengalami gangguan saat berbicara, bergerak, dan mengatur emosinya.
Hal ini terjadi karena ada kerusakan pada otak akibat sel-sel otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup.
Saat terdapat gumpalan darah maupun pembuluh darah dalam otak pecah, sel-sel itu tidak akan mendapat suplai darah dan berisiko mati.
Dilansir dari Health Center, jika stroke menyerang sisi kanan otak, maka pasien akan sulit mengatur minat atau aktivitas sosialnya. Jika saraf motorik terpengaruh, salah satu sisi tubuh penderita stroke mungkin akan melemah.
Tidak hanya gangguan fisik, ternyata stroke juga dapat menyebabkan gangguan mental, salah satunya adalah depresi.
Baca juga: Apa Itu Stroke: Penyebab, Gejala, dan Cara Penanganan
Sebuah studi yang terbit di Denmark membuktikan bahwa penderita stroke berpeluang mengalami depresi hampir 70 persen lebih tinggi daripada penderita serangan jantung.
Selain itu, mereka juga memiliki risiko lebih tinggi terkena gangguan stres dan kecemasan, gangguan penyalahgunaan zat, serta gangguan otak seperti demensia.
Gangguan mental ini muncul karena mereka merasa sedih akibat kehidupan mereka berubah selepas terdiagnosis stroke.
Baca juga: Benarkah Merokok Bisa Sebabkan Stroke?
Kenyataannya, penderita stroke mengalami gangguan mental bukan hanya karena stres setelah kondisi tubuhnya berubah.
Asisten profesor neurologi di Fakultas Kedokteran Icahn di New York City Laura Stein mengungkapkan bahwa pasien stroke mengalami depresi karena ada perubahan di otaknya akibat penyakit tersebut.
“Stroke dapat memicu peradangan di otak dan mengubah profil biokimia di dalamnya,” ujar Stein.
Ia menjelaskan, saat sel otak terkena stroke, keseimbangan bahan kimia yang penting di dalam otak akan terganggu.
Salah satunya adalah serotonin yang mengatur perasaan senang dan suasana hati. Akibatnya, hal ini akan memengaruhi kesehatan mental pasien.
Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang mengalami stroke ringan dan kembali normal dalam jangka waktu sebentar masih berisiko mengalami depresi.
Baca juga: 6 Kondisi Lingkungan yang Meningkatkan Risiko Stroke, Apa Saja?
Untuk mencegah penderita stroke mengalami depresi yang serius dan dalam jangka waktu lama, pasien harus segera menjalani program pemulihan. Beberapa metode yang dilakukan adalah terapi fisik dan bicara.
Menurut ahli saraf vaskular di UT Health Memorial Hermann-Texas Medical Center di Houston, AS Sunil Sheth, depresi dapat membuat penderita stroke sulit bersedia menjalani terapi pemulihan.
"Itu dapat memengaruhi seberapa banyak Anda membaik atau tidak,” tegas Sheth.
Padahal menurutnya, pasien yang segera menjalani perawatan akan cepat sembuh hanya dalam waktu enam minggu hingga sekitar enam bulan pasca-stroke.
Selain terapi fisik, mereka juga akan menjalani terapi perilaku kognitif (CBT) untuk mengurangi gejala depresi dan kecemasan pasca-stroke.
Dalam program ini, psikolog akan memeriksa pikiran, perasaan, dan perilaku pasien stroke. Mereka juga mungkin akan diberikan obat untuk memulihkan kondisinya.
Depresi yang dialami pasien stroke bukanlah hal sepele. Ini karena mereka berisiko lebih tinggi untuk kambuh dan meninggal akibat stroke karena mengalami depresi.
Untuk itu, mereka memerlukan dukungan dari orang di sekitarnya. Semakin baik perasaan penderita stroke di kepala dan hatinya, semakin cepat tubuhnya akan pulih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.