Ibunya, Louise adalah seorang ibu rumah tangga, sementara ayahnya, Earl Little menjadi pengkhotbah.
Ayahnya anggota aktif di cabang lokal dari Universal Negro Improvement Asociation dan pendukung setia pemimpin nasionalis kulit hitam, Marcus Garvey.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gempa San Fernando di AS, 64 Orang Tewas
Karena aktivisme hak-hak sipil sang ayah, keluarga Malcolm X sering mengalami pelecehan dan perlakuan rasisme dari kelompok supremasi kulit putih Ku Klux Klan dan salah satu faksi sempalannya, Legiun Hitam.
Malcolm bahkan sudah bertemu rasisme sebelum dia lahir.
"Ketika ibu saya mengandung saya, sekelompok pengendara Ku Klux Klan mendatangi rumah kami, mengacungkan senapan dan berteriak agar ayah saya keluar," kenangnya semasa masih hidup.
Perlakukan rasime berlanjut saat Malcolm berusia empat tahun. Semua jendela rumah keluarganya dihancurkan.
Untuk melindungi keluarganya, Earl Little memindahkan keluarganya dari Omaha ke Milwaukee, Wisconsin pada 1926 dan kemudian ke Lansing, Michighan pada 1928.
Malcolm X bersekolah di Mason High School.
Di sekolah itu, dia merupakan salah satu dari sedikit siswa kulit hitam.
Dia unggul secara akademis dan sangat disukai teman sekelasnya yang memilihnya sebagai ketua kelas.
Namun setelah diberi tahu dengan tegas oleh gurunya bahwa tidak ada gunanya seorang anak kulit hitam mengejar pendidikan, Malcolm X putus sekolah pada usia 15 tahun.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Karaiskakis yang Menewaskan 21 Suporter Sepak Bola
Setelah berhenti sekolah, Malcolm pindah ke Boston untuk tinggal bersama kakak tirinya, Ella.
Ella memberi Malcolm pekerjaan menyemir sepatu di Roseland Ballroom.
Namun, sendirian di jalanan Boston, dia berkenalan dengan penjahat kota bawah tanah dan segera beralih menjadi penjual narkoba.
Dia mendapat pekerjaan lain sebagai pembantu dapur di kereta Yankee Clipper dan jatuh lebih jauh ke dalam kehidupan narkoba dan kejahatan.