Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

"Scientist Leadership", Kepemimpinan Solutif Berbasis Ilmu Pengetahuan

Kompas.com - 15/01/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kedua, masalah ekosistem, mulai dari pendanaan hingga manajemen. Dari segi pendanaan, mengutip The Conversation, dana APBN yang dikerahkan untuk penelitian hanya berkisar 0,1 persen dari PDB 2021. Itu angka yang sangat kecil dibandingkan negara lain dan belum tentu pemimpin ilmuwan bisa menciptakan ilmu pengetahuan baru.

Dalam konteks yang lebih luas, manajemen riset di Indonesia perlu berbenah. Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa manajemen riset kita ada yang salah.

Studi ini bisa jadi validasi dari pernyataan Kepala BRIN. Berdasarkan indeks inovasi global tahun 2021, Indonesia ada di peringkat 87 dari 132 negara. Indonesia kalah dari Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Berbeda di perguruan tinggi, di perusahaan scientist leader mengalami masalah yang berbeda, yaitu soal politik. Ini terjadi di iklim riset perusahaan, khususnya di perusahaan besar. Menurut studi Kirsner (2018), 55 persen responden mengatakan hambatan terbesarnya adalah politik di perusahaan.

Hambatan politik terlihat ketika inovasi kita menyentuh banyak area, akan ada banyak orang yang tidak ingin areanya disentuh. Masalahnya mungkin berbeda antara lembaga riset dan perguruan tinggi dengan perusahaan. Tetapi, kita semua sepakat bahwa sangat penting untuk membuat ekosistem yang menunjang scientist leader berkarya, sehingga banyak terobosan baru yang tercipta dan berdampak bagi masyarakat.

Indonesia sudah memiliki solusi yang bernama Kedaireka. Kedaireka adalah platform pioneer dalam menciptakan ekosistem kolaborasi riset antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri. Kedaireka membuat scientist leader mendapatkan akses pendanaan dan kemitraan yang sesuai dengan value mereka.

Selain itu, ini bisa jadi kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan perekrutan ilmuwan bertalenta agar riset di perusahaan lebih berkembang. Namun, perguruan tinggi, lembaga riset, maupun perusahaan juga harus menciptakan budaya risetnya sendiri.

Budaya riset yang tepat akan membuat scientist leader bisa melakukan riset dengan lebih bebas. Namun, pembentukan ekosistem harus diimbangi kemampuan penting lainnya dari scientist leader. Scientist leader perlu meningkatkan kemampuannya lagi dalam memimpin.

Menurut Kvaskoff & McKay (2014), pelatihannya bisa dalam bentuk ceramah, latihan bermain peran, studi kasus dan diskusi, peserta belajar dan melatih keterampilan seperti menetapkan tujuan, menyampaikan umpan balik, menjalankan rapat yang berhasil, dan mengelola konflik atau situasi sulit yang dapat muncul di tim riset.

Dari segi pendanaan, baik perguruan tinggi, perusahaan, dan pemerintah harus memandang riset itu investasi, bukan biaya. Yanuar Nugroho, sebagaimana dikutip Katadata saat dia menjadi Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, mengatakan, sangat penting untuk melihat riset sebagai investment for the future, bukan cost. Riset adalah investment yang bisa dilihat rate of return-nya. Paradigma ini sebagai awal untuk memandang riset sebagai nilai yang inheren.

So Young Kim, Associate Professor di sekolah pascasarjana Kebijakan Sains dan Teknologi di KAIST, mengatakan bahwa akan sia-sia melipatgandakan pendanaan, khususnya dalam ilmu dasar, jika nilai yang melekat pada ilmu dasar dan motivasi intrinsik dari ilmuwan ilmu dasar tidak tercermin dalam kebijakan. Yang paling penting adalah menciptakan kultur ilmiah itu sendiri. Kultur ilmiah perlu dibentuk sejak dini.

Kita bisa belajar dari Jepang. Menurut peneliti di RIKEN Center for Emergent Matter Science, Satria Zulkarnaen Bisri, ada beberapa langkah penting yang membuat riset Jepang maju, antara lain: menghidupkan imajinasi anak mudanya dengan anime, mengintensifkan pertemuan ilmuwan-ilmuwan melalui konferensi, dan membuat peta jalan yang nyata.

Langkah-langkah inilah yang akan membuat scientist leader lebih bebas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menggerakkan timnya untuk lebih kreatif dan inovatif. Dengan begitu, scientist leader bisa menelurkan perspektif baru yang berguna di masyarakat dan semakin banyak scientist leader yang muncul di perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan.

Kendala Penerapan Scientist Leadership di Indonesia

Di Indonesia, scientist leadership di bidang penelitian sangat penting untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memajukan negara. Namun, kondisi saat ini masih terdapat beberapa kendala dalam penerapan scientist leadership di Indonesia.

Di antaranya dalam aspek SDM, di mana masih kurangnya ilmuwan berpengalaman dan kualifikasi yang memadai di bidang penelitian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com