PADA situasi konflik berskala besar, negara seringkali mengambil peran paling dominan untuk proses penyelesaiannya. Dalam situasi konflik di Papua saat ini, misalnya, peran negara terasa sangat mendominasi. TNI-Polri merupakan aktor paling aktif yang menjadi representasi negara di tengah konflik masyarakat Papua.
Tentu merupakan suatu kewajiban bagi negara untuk hadir dalam setiap penyelesaian konflik di tengah masyarakat, karena memang sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar, "demi terciptanya perdamaian dan ketertiban dunia".
Akan tetapi, di tengah dominasinya dalam setiap konflik, peran negara tidak selalu dapat muncul sebagai solusi penyelesaian konflik. Di Indonesia, hal ini setidaknya tercermin dari kondisi konflik Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua saat ini. Meskipun TNI-Polri aktif dalam menumpas gerakan-gerakannya, situasi keamanan di Papua tidak kunjung kondusif.
Baca juga: Perubahan Penanganan Konflik Papua Dinilai Jadi Batu Ujian Yudo Margono
Begitu pula yang terjadi saat konflik Timor Timur meletus tahun 1999 - 2001. Pendekatan penyelesaian konflik yang dilakukan negara saat itu dinilai kurang efektif.
Fenomena konflik yang telah terjadi maupun yang saat ini masih berlangsung di Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dunia internasional. Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Ligitan, misalnya, penyelesaiannya justru berakhir di Mahkamah Internasional.
Hal itu semakin menegaskan adanya keterbatasan peran negara dalam menyelesaikan berbagai permasalahan atas konflik teritorial.
Di Eropa, fenomena Perang Dingin dan runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan pengaruh Barat maupun Eropa Timur seakan menegaskan bahwa negara tidak mampu bertindak sendirian dalam mewujudkan perdamaian dunia, seperti yang diimpikan oleh masyarakat internasional.
Di Timur Tengah, di mana setiap konflik kerap kali didominasi oleh peran negara, aktor-aktor yang menjadi representasi bagi negara justru tidak muncul sebagai solusi. Terkadang, negara malah menjadi pemantik perseteruan baru di kawasan tersebut.
Bila negara terbukti tidak dapat mewujudkan kondisi damai secara kontinyu bagi masyarakat secara holistik, apakah metode alternatif, seperti pelibatan aktor informal, lebih efektif dalam proses resolusi konflik? Dalam perspektif ilmu hubungan internasional, setidaknya hal ini tercermin sebagai kritik bagi track one diplomacy, di mana berbagai aktor yang merepresentasikan peran negara seperti diplomat, negosiator negara, personel militer, maupun kepolisian, tidak cukup efektif dalam proses resolusi konflik.
Hal itu di kemudian hari melahirkan sebuah jalur baru bernama track two diplomacy. Dalam jalur baru itu, aktor nonpemerintah seperti akademisi, praktisi, maupun non-govermental organization (NGO), berperanan penting dalam proses diplomasi maupun negosiasi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.