KOMPAS.com - Memasak sendiri di rumah ternyata memiliki banyak manfaat.
Selain membuat pengeluaran lebih hemat dan lebih sehat, ternyata manfaat lainnya, memasak juga baik untuk kondisi mental seseorang.
Hal tersebut sebagaimana terlihat dari sejumlah penelitian yang ada.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Michael Kocet, Profesor dan Ketua Departemen Pendidikan konselor di The Chicago School of Professional Psychology, di mana penelitiannya menunjukkan bahwa memasak memang baik untuk jiwa.
“Definisi awal untuk terapi kuliner adalah: Teknik terapi yang menggunakan seni kuliner, memasak, keahlian memasak, dan hubungan pribadi, budaya, dan kekeluargaan individu dengan makanan untuk mengatasi masalah emosional dan psikologis yang dihadapi oleh individu, keluarga, dan kelompok,” ujarnya, dikutip dari Everydayhealth.
Sebuah studi kecil pada jurnal Frontiers in Psychology (2021) juga menemukan bahwa orang yang memasak mendapatkan kebahagiaan dan relaksasi saat melakukannya.
Baca juga: 6 Minyak Goreng Alternatif Pengganti Minyak Sawit untuk Memasak
Baca juga: Manfaat Puasa bagi Kesehatan Mental, Apa Saja?
Berikut ini sejumlah alasan mengapa memasak bisa bermanfaat untuk kesehatan mental:
Dikutip dari Verrywellmind, sebuah studi yang dilakukan pada 2014 mengilustrasikan hubungan kesehatan mental yang buruk dan pola makan yang tidak sehat.
Ketika seseorang memasak masakan sendiri, maka dirinya bisa mengatur apa saja bahan yang baik yang digunakan.
Oleh karena itulah ketika seseorang bisa mengatur pola makan yang sehat, hal ini bisa berpengaruh kepada kesehatan mentalnya.
Baca juga: 8 Rutinitas Pagi untuk Meningkatkan Kesehatan Mental
Ketika seseorang memasak, ada beragam aktivitas yang membuat seseorang terhubung dengan banyak orang.
Seperti membeli bahan kepada tukang sayur, hingga berinteraksi untuk mendapatkan resep masakan tertentu.
Selain itu aktivitas yang lain yang meningkatkan interaksi sosial seperti dorongan ingin agar hasil masakan dicoba oleh orang lain ataupun orang tersayang.
Penelitian yang terbit pada Januari 2016 di Journal of Nutrition education Behaviour, para peneliti mensurvei 8.500 remaja di Selandia Baru.