KOMPAS.com - Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka meminta agar tamu undangan pernikahan Kaesang Pangarep-Erina Gudono di Pura Mangkunegaran untuk tidak mengenakan batik motif parang.
Menurutnya, hal ini merupakan aturan dari Pura Mangkunagaran Solo.
"Untuk masuk Pura Mangkunegaran tidak boleh ada (batik) parang lereng. Ini aturan dari Kanjeng Gusti Mangkunegara X. Harusnya (tamu) sudah tahu semua," kata Gibran, Selasa (6/12/2022).
Parang merupakan salah satu ragam motif batik dari Pulau Jawa.
Pengamat seni tradisional sekaligus pensiunan dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) Aryo Sunaryo menuturkan, batik parang atau lereng memang hanya dipakai oleh bangsawan atau raja saja.
Menurutnya, batik parang sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Mataram.
"Karena itu, kalangan keraton menganggapnya sakral. Motif parang barong (parang besar) juga sempat menjadi larangan selain yang dipakai raja," kata Aryo kepada Kompas.com, Selasa (6/12/2022).
Ia menjelaskan, batik parang digunakan sebagai pembeda antara golongan rakyat biasa dan bangsawan.
Batik parang pada zaman dahulu berfungsi sebagai kain panjang ataupun sebagai sarung.
Motif parang bahkan dikeramatkan, sehingga hanya bisa dikenakan oleh keluarga kerajaan, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan Susuhunan Paku Buwono XII.
Dikutip dari Harian Kompas, 25 September 2016, larangan penggunaan batik parang untuk masyarakat umum juga tertuang dalam Rijksblad van Djokjakarta atau Undang- Undang Keraton Yogyakarta Tahun 1927.
Ada delapan motif batik larangan, yakni rang rusak barong, parang rusak gendrek, parang rusak klithik, semen gedhe sawat grudha, semen gedhe sawat lor, udan riris, rujak senthe, dan parang-parangan yang bukan parang rusak.
Aturan tersebut tetap dipegang hingga saat ini. Dalam beberapa acara keraton, tamu undangan diminta untuk tidak memakai batik motif parang.
Baca juga: Bagaimana Perbedaan Falsafah Corak Batik Parang dan Truntum?
Selain Keraton Yogyakarta, aturan terkait dengan batik larangan juga diberlakukan di Keraton Surakarta.
Hal ini sesuai naskah nomor 27 undang-undang yang berisi larangan mengenakan pakaian dan perlengkapan pakaian tertentu di Keraton Surakarta yang dikeluarkan oleh Susuhunan Paku Buwono III (1749-1788).
Kain jarit yang termasuk larangan PB III atau raja pertama Keraton Surakarta adalah batik sawat, batik parang rusak, batik sumangkiri yang bertelacap modang, bangun tulak, lenga teleng, daregem, dan tumpal.
Motif kain batik larangan itu tercatat mengalami perubahan seiring pergantian takhta.
Setelah menduduki kursi raja, PB IV (1788-1820) juga membuat undang-undang yang mirip dengan sebelumnya.
Undang-undang terkait larangan pemakaian busana tertentu yang dibuat PB IV diberi nomor naskah 7.
Kain batik yang termasuk larangan di Keraton Surakarta kemudian berubah menjadi batik sawat, parang rusak, cemukiran yang memakai talacap modang, udan riris, dan tumpal.
Sama seperti Keraton Yogyakarta, hanya raja yang boleh memakai parang barong di Keraton Surakarta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.