Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Spruten? Ini Penyebab, Gejala, dan Cara Pengobatannya

Kompas.com - 05/12/2022, 11:30 WIB
Retia Kartika Dewi,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejumlah warganet di media sosial menanyakan cara menghilangkan "spruten" atau bintik-bintik hitam seperti tahi lalat di wajah pada Sabtu (3/12/2022).

"Buat ngilangin spruten apa harus ke klinik?
Kalo iya, selain daerah Jabodetabek, habis biaya sekitar berapa yah? Masih kecil² tapi risih liatnya," tulis pengunggah dalam twitnya.

Twit juga dilengkapi dengan kondisi wajah seseorang dengan sejumlah bintik-bintik mirip tahi lalat yang tersebar di wajahnya.

Lalu, apa itu "spruten"? Apa penyebab, gejala, dan bagaimana cara mengobatinya?

Baca juga: 5 Manfaat Es Batu untuk Wajah, Redakan Jerawat dan Kulit Kusam

Apa itu spruten?

Dosen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman dr. Ismiralda Oke Putranti mengatakan bahwa "spruten" adalah istilah dalam bahasa Belanda yang artinya menonjol.

Namun, dalam dunia medis, spruten dikenal sebagai keratosis seboroik.

"Istilah spruten dari bahasa Belanad yang artinya menonjol," ujar Oke, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (4/12/2022).

Menurut dia, penonjolan kulit ini merupakan variasi klinis dari keratosis seboroik yang bersifat menggantung (skin tags).

Secara kasat mata, spruten ini cenderung mengembang di permukaan dan seperti kutil.

Biasanya, spruten berwarna cokelat, tetapi bisa juga berwarna kuning, putih, atau hitam.

Spruten bisa tumbuh di mana saja pada tubuh, kecuali telapak kaki, telapak tangan, dan selaput lendir.

Baca juga: 7 Kebiasaan Sederhana yang Bisa Mempercepat Penuaan Dini pada Kulit, Apa Saja?

Penyebab spruten

Dilansir dari Healthline, (31/12/2021), penyebab pasti dari munculnya spruten masih belum jelas.

Sebab, mereka tidak berasal dari bakteri, virus, dan tidak menular.

Namun, ada beberapa faktor risiko yang mungkin bisa mengembangkan spruten atau keratosis seboroik.

1. Usia yang lebih tua

Kondisi ini sering berkembang pada mereka yang berusia 30-an atau 40-an tahun, dan risikonya meningkat seiring bertambahnya usia. Itu tidak umum pada orang yang lebih muda dari 20 tahun.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com