TANGGAL 24 Sepetember diperingati sebagai Hari Tani Nasional.
Akhir-akhir ini, saat pandemi Covid-19 melandai, seluruh dunia, termasuk Indonesia, berbicara tentang krisis pangan. Ketika terjadi krisis pangan, kebijakan apa yang dilakukan pemerintah untuk menyiasatinya? Indonesia membuka food estate di Humbang Hasundutan di Sumatra Utara dan di Kalimantan.
Lalu, kebijakan apa yang dilakukan untuk petani? Paradigma apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mendukung petani agar menjadi penjaga gawang ketahanan pangan?
Beberapa tahun terakhir, hampir di seluruh Indonesia petani berteriak soal kelangkaan pupuk subsidi. Pemerintah sebenarnya telah memberikan penugasan kepada PT Pupuk Indonesia sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memproduksi pupuk yang dibutuhkan rakyat.
Faktanya, dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) pada 19 Sepetember 2022, perusahaan itu menyampaikan bahwa dana subsidi itu, yang dikenal dengan sebutan public service obligation (PSO), belum dibayarkan Kementerian Keuangan sejak 2020 sampai Juli tahun 2022. Total jumlahnya Rp 17,47 triliun.
Kita mengetahui, petani menanam dengan mengikuti musim. Jika mereka tidak cerdas mengikuti musim, tanamannya akan menjadi korban kemarau yang berkepenjangan.
Baca juga: Petani Teriak Pupuk Langka di Pasaran, Ini Penjelasan BUMN Pupuk
Karena kondisi itu, petani mau tidak mau mengikutinya tetapi ketika mereka mengikuti musim persediaan pupuk tidak ada. Petani meraung-raung saat tanaman mereka membutuhkan pupuk tetapi pupuk justru tidak tersedia.
Dalam kondisi pupuk bersubsidi tidak ada, tanaman tidak boleh terlambat dipupuk. Maka, petani terpaksa meminjam uang ke tengkulak. Lengkaplah derita petani. Uang dari tengkulak berbunga tinggi, pupuk bersubsidi tidak ada.
Sementara itu, perusahaan pupuk secara bisnis akan memilih mengekspor pupuk jika harga pupuk lebih tinggi di luar negeri.
PT Pupuk Indonesia akan terganggu arus kasnya jika dana yang dijanjikan pemerintah tidak dibayar. Namun yang sangat terdampak dari kondiri itu adalah para petani.
Saat Kementerian Keuangan terlambat membayar PSO ke PT Pupuk Indonesia, yang sebetulnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan petani di seluruh Indonesia, dampaknya petani terlunta-lunta.
Kebutuhan pupuk bersubsisdi diperkirakan 25,18 juta ton. Namun, Kementerian Pertanian hanya bisa memenuhi sebanyak 9,5 juta ton. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, pemerintah hanya dapat menyediakan 40 persen dari total pengajuan pupuk bersubsidi.
Keterbatasan persediaan pupuk subsidi itu acapkali menimbulkan ketidakadilan di kalangan petani. Petani mana yang berhak mendapat subsidi dan mana yang tidak? Itu juga telah menjadi soal tersendiri.
Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk adil, tetapi tidak pernah tercapai keadilan itu.
Konflik di arus bawah terus berlanjut karena informasi simpang siur dan Dinas Pertanian di daerah acapkali dituding sebagai biang kerok kelangkaan pupuk.