Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600. Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit.
Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk.
Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kiai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.
Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit. Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.
Baca juga: Ketika HB IX Berkisah tentang Penampakan Sultan Agung
Versi ketiga, dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya.
Untuk itu, masyarakat zaman dahulu berusaha menolaknya dengan meminta bantuan kepada orang atau Kiai yang dianggap lebih mumpuni.
Kiai Welit, saat itu, diminta membuat tolak bala berbentuk rajah yang dimasukkan ke dalam air untuk mandi agar terhindar dari bahaya. Karena semakin banyak orang yang meminta, Kiai Welit pun menemukan cara baru, yakni dengan memasang rajah diKali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan begitu, masyarakat cukup mengambil air atau mandi di kali tanpa mendatangi Kiai Welit.
Baca juga: Menjelajahi Salah Satu Museum Islam Terbesar di Dunia Secara Virtual
Dikutip dari Kompas.com, tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo.
Kala itu, banyak ulama yang menyebutkan bahwa pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.
Sebagai antisipasi datangnya penyakit dan agar terhindar dari musibah, para ulama pun melakukan tirakatan dengan banyak beribadah dan berdoa. Kegiatan tersebut bertujuan agar Allah menjauhkan mereka dari segala penyakit dan malapetaka yang dipercaya turun pada Rabu terakhir di bulan Safar.
Hingga kini, tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian umat Islam di Indonesia dengan sebutan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan.
Kendati demikian, ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa tradisi Rebo Wekasan baru muncul pada awal abad XVII di Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Selain Yogyakarta, tradisi Rebo Wekasan juga diadakan oleh sebagian masyarakat di berbagai wilayah Indonesia.