Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Husni Rohman
PNS

Perencana Ahli Madya

Ketahanan Nasional, Moderasi Beragama, dan Literasi Digital

Kompas.com - 30/08/2022, 17:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERJALANAN sejarah bangsa Indonesia telah menunjukkan bahwa kemajemukan merupakan nilai yang menjadi panduan dalam praktik kenegaraan dan kehidupan keseharian masyarakat kita. Kemajemukan tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi lahir, tumbuh, berkembang dan besar dalam sebuah interaksi antara konsensus, budaya, dan kebijakan.

Interaksi tersebut bermuara sekaligus berakar pada empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar tersebut menjadi titik awal dan arah ke depan yang menuntun kita dalam upaya untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan nasional.

Kemampuan suatu negara untuk mewujudkan kepentingan nasional disebut dengan ketahanan nasional.

Lembaga Ketahanan Nasional (2020) mengartikan ketahanan nasional sebagai sebuah kondisi dinamis suatu bangsa yang di dalamnya terdapat keuletan, ketangguhan, dan kekuatan dalam menghadapi segala macam ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan yang dapat membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa.

Baca juga: Ketahanan Nasional: Pengertian dan Fungsinya

Ketahanan nasional dibangun dari komponen ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan pertahanan keamanan. Dari serangkaian komponen ketahanan nasional tersebut, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2022) menyebutkan bahwa ketahanan ideologi merupakan komponen yang dalam posisi paling rawan.

Pancasila sebagai ideologi bangsa menghadapi beberapa tantangan, di antaranya minimnya pemahaman, institusionalisasi, dan keteladanan atas Pancasila. Tantangan-tantangan tersebut semakin nyata di tengah masih tingginya kesenjangan dan eksklusivisme sosial, yang ditandai dengan masih terjadinya intoleransi inter dan antar umat beragama, dan adanya upaya untuk memaksa penggantian ideologi/dasar negara Pancasila.

Terkait intoleransi, Kementerian Agama melalui Indeks Kerukunan Umat Beragama tahun 2020 mencatat setidaknya terdapat empat aspek permasalahan utama terkait kerukunan umat beragama di Indonesia, yakni prasangka antar-kelompok, toleransi, kesetaraan, dan kerja sama.

Dari keempat permasalahan tersebut, dimensi toleransi menunjukkan masih adanya fenomena intoleransi dalam masyarakat. Gejala yang kedua adalah masih ditemukannya kelompok-kelompok yang berupaya untuk mengganti ideologi/dasar negara Pancasila.

Hasil kajian dan penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga non-pemerintah juga mengindikasikan masih adanya persoalan intoleransi umat beragama di Indonesia.

Setara Insititute melalui Indeks Kota Toleran (2020) menunjukkan bahwa praktik inklusi sosial keagamaan masih menjadi pekerjaan rumah kota-kota di Indonesia. Di lembaga pendidikan, survei oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (2017 dan 2018), serta Habibie Center (2019) menunjukkan bahwa radikalisasi dan intoleransi telah menyebar ke kalangan tenaga pendidik dan peserta didik, baik di sekolah menengah atas (SMA) maupun perguruan tinggi (PT).

Paling akhir, survey Alvara Research Center (2021) menunjukkan bahwa masih ada 19,4 persen penduduk yang meyakini ideologi berbasis agama dan 17,8 persen penduduk meyakini khilafah.

Persoalan intoleransi tersebut mengalami eskalasi ketika internet dan media sosial muncul sebagai salah satu rujukan sumber utama informasi. Survei yang dilakukan Katadata Insight Center dan Kemenkominfo (2020) di 34 provinsi menunjukkan bahwa media sosial menempat peringkat pertama sumber informasi, disusul oleh televisi dan portal berita online.

Media sosial yang paling sering diakses sebagai sumber informasi adalah aplikasi percakapan Whatsapp, aplikasi jejaring sosial Facebook, serta aplikasi berbagi foto dan video Instagram.

Selain itu, survei PPIM UIN Jakarta (2017) atas peserta didik menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar pada terbentuknya sikap dan pemahaman keagamaan di kalangan anak muda. Siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet (15,06 persen) lebih memiliki sikap moderat dibandingkan mereka yang memiliki akses internet (84,94 persen).

Di samping itu, sebanyak 54,37 persen siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama Islam dari internet, baik itu media sosial, blog, atau website.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com