POLITIK identitas, yang identik dengan gerakan-gerakan politik berbau Islam, memang bukan sesuatu yang dilarang ataupun diharamkan di Indonesia. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa politik identitas merupakan salah satu penyebab terjadinya polarisasi yang tajam di masyarakat, terutama pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019.
Dr Rumadi, Staf Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden, beberapa waktu lalu mengutarakan kekhawatirannya terkait isu itu dalam sebuah forum. Dia menyampaikan bahwa tanpa suatu identitas, manusia tidak akan mungkin bisa hidup. Jika sejak awal Islam dikategorikan sebagai sebuah identitas, maka politik dan agama tentunya tidak mungkin dapat dipisahkan.
Namun menurut dia, saat ini penerapan politik identitas di Indonesia telah kelewat batas dan dapat berpotensi mengancam stabilitas nasional.
Baca juga: Jelang Pemilu 2024, Jokowi: Jangan Ada Lagi Politik Identitas dan Politisasi Agama
Dalam berbagai diskursus terkait permasalahan keterlibatan unsur agama di dunia politik, tentunya dibahas pula mengenai keterlibatan aktor-aktor di dalamnya. Salah satu yang paling disorot adalah terkait adanya relasi antara ulama dengan negara, yang dalam hal ini banyak diinisiasi oleh pejabat pemerintahan.
Secara historis, relasi ini sebenarnya sudah terjadi di berbagai negara sejak lama, tak terkecuali di kawasan Timur Tengah yang merupakan fokus awal peradaban Islam di dunia.
Menurut buku “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” karya Ahmet T Kuru, terdapat dua sumber perspektif utama terkait hubungan antara Islam dan negara. Sumber pertama berasal dari tulisan-tulisan karya sarjana Barat terkait pandangan politik para ulama sebelum, selama, dan sesudah abad ke-11, sedangkan yang kedua berasal dari propaganda Islamis.
Kedua sumber tersebut sama-sama menegaskan perlunya penyatuan antara Islam dan negara, serta menolak ide-ide ataupun gagasan negara sekuler. Hal itu meninggalkan warisan sejarah, yang semakin membuat tidak dapat dipisahkannya peran aliansi ulama dan penguasa di suatu negara.
Sayangnya, relasi antara ulama dan penguasa inilah yang menjadi petaka bagi peradaban Islam selama bertahun-tahun. Tesis Ahmet T Kuru di buku yang sama juga mengatakan bahwa selama ini, umat Islam menganggap negara Barat adalah penyebab utama kemunduran peradaban muslim selama berabad-abad lamanya.
Padahal, apabila diteliti kembali secara historis, faktor paling dominan dalam kemunduran peradaban Islam justru disebabkan faktor internal, yaitu aliansi antara ulama dan penguasa.
Lantas, apa yang menyebabkan aliansi antara ulama dan penguasa menjadi faktor utama bagi kemunduran peradaban? Lalu, refleksi apa yang harusnya dapat dipetik oleh bangsa Indonesia dari kemunduran tersebut?
Pertama, aliansi antara ulama dan penguasa pada faktanya justru menyingkirkan pengaruh kaum-kaum intelektual dan borjuis. Dalam tesisnya, Ahmet T Kuru berpendapat bahwa hal yang menjadi game changer berbaliknya kondisi peradaban muslim dan Eropa terletak pada relasi antara kelas keagamaan, politik, intelektual, dan ekonomi.
Ulama, di awal sejarah peradaban Islam menganggap hubungannya dengan raja-raja ataupun penguasa hanya akan bersifat merusak. Di antara abad ke-8 hingga ke-11, para pemuka agama lebih senang bergaul dengan kelompok intelektual, serta kaum pedagang yang memiliki andil besar dalam menggerakan ekonomi.
Hal itu menjadi faktor majunya peradaban Islam pada masa itu, dengan kemerdekaan berpikir yang dinikmati para filsuf dan ilmuwan, berkembangnya perniagaan, serta banyaknya karya teks-teks klasik.
Sebagai komparasi, bangsa Eropa juga mengalami kemajuan peradaban pasca abad kegelapan karena dominasi pengaruh kaum intelektual dan pedagang, yang selanjutnya berkembang hingga zaman renaisans.
Namun pada abad ke-11, terdesaknya kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad akibat kebangkitan bangsa Persia, Turki, dan Kurdi membuat sejumlah ulama dan sultan bersatu untuk menumpasnya. Hal ini membuat kaum intelektual seperti ahli teologi rasionalis dan filsuf dianggap murtad dan terancam hukuman mati.
Baca juga: Kekhalifahan Abbasiyah: Sejarah, Masa Keemasan, dan Akhir Kekuasaan