Poin yang mau saya sampaikan adalah keberadaan silent majority yang sebenarnya diwakili sosok masyarakat kebanyakan yang punya “kebenaran sendiri”. Sedari awal kehadiran mereka tidak diperhitungkan, persis seperti para penonton yang tak bisa ikut campur pada proses pengambilan keputusan wasit. Namun mereka tak pernah salah menuliskan sejarah.
Baca juga: Sambo, Kode Etik dan Rasa Etika Publik
Tiga setengah dekade setelah 1986 dan dilengkapi dengan CSI, CCTV, uji forensik canggih dan lain sebagainya, meski cenderung enggan berterus terang dalam kehidupan nyata, faktanya, silent majority eksis bertukar informasi melalui ruang media sosial dan cara berkomunikasi lainnya.
Pada kasus Duren Tiga, kejanggalan informasi resmi jelas mengusik logika mereka. Amat disayangkan, rendahnya literasi media, apatisme terhadap kualitas informasi dan kecenderungan memberi ruang pada motif yang sifatnya sensasional dan menguras emosi, tanpa disadari mengarak mereka yang dapat larut untuk memercayai berbagai narasi sarat kepentingan, yang secara tak langsung mengkotak-kotakkan mereka sesuai keyakinannya. Pada versi yang bagi mereka benar.
Namun begitu, saya masih percaya pada kekuatan silent majority. Tanpa penonton, industri sepakbola bangkrut. Tanpa rakyat, tak ada negara. Meski kerap berada di persimpangan atau berdiri kebingungan, suara mereka jelas diperhitungkan, bahkan, diperebutkan.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, justru si pendomplenglah yang harus diwaspadai. Ini berlaku bukan hanya pada kasus Duren Tiga saja. Terbukti, kemampuan beserta akses yang dimiliki setidaknya berpotensi menyetir silent majority, yang saya harap, cepat-cepat kemping di luar lapangan.
Dari situ, di pinggiran, polarisasi isu-isu yang berpotensi digunakan penumpang gelap untuk memajukan agenda tertentu atau memojokkan salah satu pihak akan lebih mudah terlihat.
Harapan saya, begitu teridentifikasi, ayo kita sama-sama luruskan tanpa perlu ribut-ribut.
"Perang udara" akan mencapai puncaknya menuju 2024. “Eling lan waspada,” (Sadar dan waspada) kata Jayabaya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.