Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fesyen Berkelanjutan, Hobi Ratu Victoria hingga Desainer Masa Kini

Kompas.com - 07/08/2022, 15:00 WIB
Inten Esti Pratiwi

Penulis

KOMPAS.com - Konsep fesyen berkelanjutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Bahkan menurut penelusuran sejarah, upcycle fesyen atau daur ulang fesyen sudah ada sejak awal abad ke-19 di masa Ratu Victoria dari Britania Raya.

Di Semarang Fashion Trend 2022, gelaran tahunan yang diselenggarakan Indonesian Fashion Chamber (IFC) berkolaborasi dengan BBPVP Semarang di runway hall BBPVP, Jalan Brigjen Sudiarto Semarang, Kamis (4/8/2022) hingga Sabtu (6/8/2022), konsep fesyen berkelanjutan juga mendominasi.

Kampanye sustainable fashion atau konsep fesyen berkelanjutan, di mana proses produksi diusahakan selalu zero waste alias nol sampah, terus menggema di mana-mana.

Jadi dalam konsep ini, kain perca "haram" untuk dibuang, denim lama sayang untuk ditelantarkan begitu saja, karena semuanya bisa diolah menjadi fesyen baru yang lebih kaya rasa.

Konsep fesyen berkelanjutan ada tiga, yaitu reuse, renewal dan upcycle.

Konsep ini makin berdengung lantaran di masa pandemi, runway sepi. Sehingga stok kain dan baju karya desainer pun banyak menganggur teronggok di dalam gudang. Hal ini, menginspirasi desainer untuk berkreasi, mengubah kain stok lama menjadi sesuatu yang baru.

Baca juga: Pengaruh Tokoh Kartun dalam Dunia Fesyen dari Masa ke Masa

Terpasung selama pandemi

Sepinya jalur runway membuat desainer hanya menyimpan stok kain dan baju karyanya rapi di dalam gudang.

Hal inilah yang akhirnya menginspirasi beberapa desainer seperti Elkana Gunawan, Widya Andhika, Inge Chu, dan Pinky Hendarto untuk berkreasi secara beda.

Elkana Gunawan yang menampilkan Upeksha, atau dalam bahasa Sanskerta berarti keseimbangan dalam menjalani hidup, menyuguhkan outer kimono, kemeja panjang dan long coat yang dipadu dengan sarung modifikasi.

Elkana memaparkan, bahwa selepas dua tahun terpasung dalam pandemi, ia pun melahirkan lini baru, Runtahstyle.

Runtah adalah sampah, dan sesuai namanya, lini kedua brand-nya ini berasal dari sampah-sampah perca dari gudangnya yang kemudian diolah lagi menjadi busana baru dengan teknik patchwork.

Baca juga: Perancis Rencanakan Label Perlindungan Iklim di Produk Fesyen

Teknik patchwork wastra ala Elkana Gunawan.Dok Official SFT 2022 Teknik patchwork wastra ala Elkana Gunawan.

Inge Chu dalam label Egni mengeluarkan koleksi bertema moringa dengan warna earth tone. Daur ulang perca terlihat pada ornamen detail layer dan aplikasi bordir, yang diaplikasikan pada blazer, sarung, kebaya, blus dan celana.

Sedangkan Pinky Hendarto dalam tema "Dance of the Sunset Sky", menggunakan dominasi chiffon dan tule. Kain chiffon yang ada diambil dari tumpukan kain di gudangnya, sisa produksi yang selama dua tahun teronggok begitu saja di sana.

Terinspirasi Diana Rikasari, Widya Andhika pemilik brand Dhievine, melakukan upcycling mode, mendandani busana lawas dengan aplikasi patchwork dan anyaman wastra.

Ia mempertontonkan kebaya, rok mini, boyfriend ripped pants, skort berdetail envelope, dropped shoulder blazer, dan beberapa jaket denim yang sudah berhias bordiran perca-perca wastra nusantara.

Baca juga: Hemat Fesyen dengan Daur Ulang Denim Lama

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com