Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Persenjataan TNI dan Kemandirian Industri Pertahanan Lokal

Kompas.com - 29/07/2022, 15:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KITA tahu tentara jang tidak terpelihara rusak disiplinnja, patah moreelnja, achirnja menggedor kanan-kiri untuk mentjari penghidupannja sendiri. Sebab itu tudjuan pemerintah ialah mengadakan suatu angkatan perang jang effektif jang dikuasai seluruhnja oleh pimpinan angkatan perang dengan berdasarkan adagium: satu tentara satu komando.” -Mohammad Hatta.

Kutipan di atas merupakan bagian dari buku terkenal berjudul Mendajung Antara Dua Karang karya Drs Mohammad Hatta. Pada 2 September 1948, proklamator sekaligus mantan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) tersebut menyampaikan pidato dengan judul yang sama seperti buku tersebut dalam sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta.

Dari pidato visioner Bung Hatta inilah terbentuk suatu konsep politik luar negeri Indonesia yaitu “bebas aktif”, yang ternyata sangat relevan hingga saat ini. Di dalamnya, Bung Hatta juga mengungkapkan betapa lemahnya negara kita yang baru merdeka, bila dibandingkan dengan dua kekuatan besar dunia saat perang dingin kala itu: Amerika Serikat (AS) dan Soviet Rusia.

Baca juga: Prabowo Tegaskan Tujuan Pengadaan Alutsista Rp 1.700 Triliun Bukan untuk Invasi

Namun, dia tetap pada pendiriannya bahwa Indonesia harus memiliki kepercayaan diri yang lebih dan berdiri di atas kaki sendiri. Bagi Bung Hatta, berdasarkan dalil Marxis, momentum kemerdekaan merupakan sebuah revolusi nasional, yang selanjutnya harus berlanjut kepada revolusi sosial. Maka dari itu, ia menegaskan bahwa perlu dilaksanakannya sebuah konsep “rasionalisasi” domestik di berbagai bidang, yang salah satunya menyangkut masalah pertahanan negara.

Rekonstruksi dan rasionalisasi di tubuh TNI, yang telah dimulai sejak tahun 1947, ditujukan untuk membangun postur angkatan bersenjata yang efektif dan efisien, di tengah-tengah usaha negara menstabilkan perekonomiannya. Jumlah personel militer di Pulau Jawa pada zaman itu dapat dikatakan terlalu banyak, maka dilakukan upaya untuk mengembalikan tentara kepada masyarakat melalui jalur profesi lain, seperti guru, petani, peternak dan lain sebagainya. Meskipun awalnya terdapat resistensi dari kalangan militer kala itu, nyatanya program tersebut berhasil membuat TNI kembali pada postur yang efektif dalam berbagai operasinya.

Hal itu tercermin dari kesigapan TNI dalam menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1948, dan suksesnya serangan umum 1 Maret 1949 untuk merebut kembali Yogyakarta pasca-Agresi Militer Belanda II.

Kini, membangun postur TNI yang ideal dan efektif di tengah pergolakan geopolitik dunia mendapat tantangan yang berbeda. Semangat Bung Hatta yang terkenal dengan “berdiri di atas kaki sendiri” terasa seperti menggarami lautan ketika berhadapan dengan tantangan pembangunan alutsista (alat utama sistem senjata). Perkembangan teknologi, konsep pasar bebas yang liberal, kapitalisme dalam industri pertahanan, serta hegemoni AS dan Rusia, membuat setiap negara, sadar atau tidak, memiliki keberpihakan terhadap salah satu poros kekuatan dunia.

 

Alutsita bergantung pada produk asing

Ketika berbicara tentang pengadaan alutsista dalam membangun postur TNI, fakta justru menunjukkan adanya keberpihakan dan ketergantungan yang sangat besar Indonesia terhadap pihak asing, baik dari Blok Barat maupun Timur. Berdasarkan data yang diolah oleh SIPRI Arms Transfer Database dalam buku 75 Tahun TNI: Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan Organisasi Militer Indonesia: 1945-2020, terdapat kecenderungan perubahan sumber alutsista berdasarkan afiliasi blok. Dari tahun 1950-1965, ketergantungan alutsista TNI kala itu sangat didominasi oleh Blok Timur. Pada periode 1966-1998, ketergantungan alutsista dicirikan dengan mulai bergesernya tren ke arah Blok Barat, dan mulai adanya keterlibatan industri pertahanan dalam negeri. Pada periode terakhir tahun 1999-2020, tren pengadaan alutsista mulai terdiversifikasi, serta terdapat peningkatan yang signifikan dalam pelibatan industri pertahanan dalam negeri.

Baca juga: Spesifikasi Pesawat Tempur Hawk 200 TNI AU: Radar hingga Persenjataan

Satu-satunya hal yang hingga kini tidak berubah secara signifikan adalah dependensi alutsista TNI terhadap teknologi asing. Data dari IISS Military Balance menyebutkan, dari tahun 1998-2018, indeks dependensi alutsista TNI terhadap teknologi asing selalu berada pada kisaran 0,9-1. Hal ini menunjukkan TNI sangat mutlak bergantung kepada teknologi alutsista asing.

Peningkatan jumlah variasi senjata dan negara pemasoknya menjadikan Indonesia pasar yang besar bagi industri alutsista luar negeri. Lagi-lagi, ketertinggalan teknologi menjadi penyebab utama besarnya dependensi TNI terhadap alutsista asing. Namun, ketertinggalan teknologi tentunya tidak bisa kita sikapi dengan suatu kewajaran. Di era informasi seperti saat ini, tidak mungkin mempertahankan suatu negara hanya dengan mengandalkan bambu runcing ataupun senjata rampasan layaknya ketika zaman perang gerilya.

 

Mengupayakan kemandirian industri pertahanan lokal

Salah satu solusi dari permasalahan ini, tentunya adalah mewujudkan kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Sebenarnya, kejayaan industri pertahanan Indonesia pernah terjadi di zaman Orde Baru, di bawah kepemimpinan BJ Habibie, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Habibie mencetus adanya rencana progresif bagi industri pertahanan dan menjadikannya sebagai sektor yang strategis.

Salah satu momentum bangkitnya industri pertahanan Indonesia adalah ketika banyak didirikan perusahaan pelaku kunci industri pertahanan, termasuk PT IPTN (yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia). PT IPTN merupakan tempat bagi Habibie untuk mengembangkan pesawat CN-235 (yang bekerjasama dengan perusahaan CASA dari Spanyol), serta hampir diproduksinya prototipe N-250 tahun 1996. Namun, krisis moneter serta kejatuhan Orde Baru menghancurkan mimpi kebangkitan industri pertahanan tersebut.

Kini, industri pertahanan Indonesia perlahan mulai bangkit. Pemain besar seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia mulai banyak mengekspor hasil produksinya ke berbagai negara. Namun, tantangan terbesar bagi mereka adalah masih rendahnya kapabilitas perusahaan-perusahaan tersebut untuk memproduksi alutsista berteknologi canggih layaknya AS maupun Rusia.

Baca juga: Erick Thohir Bertemu Prabowo di Kemenhan, Mengaku Bahas Industri Pertahanan

Kurangnya pendanaan terhadap riset teknologi alutsista, membuat produk-produk persenjataan kita masih kalah kompetitif dibandingkan negara-negara lain.

Ketidakpastian dalam memperoleh pesanan dari pasar lokal maupun mancanegara juga menjadi faktor utama enggannya investor untuk mengeluarkan dana besar bagi pengembangan industri pertahanan nasional. TNI juga kerap mengeluhkan kualitas dari alutsista produksi lokal, yang tidak sebaik buatan luar negeri.

Pemerintah harus mulai berani dalam mendukung para pemain industri pertahanan lokal, untuk mewujudkan kemandirian di masa depan. Pemberian insentif baik secara fiskal yang ditujukan untuk program penelitian persenjataan militer, maupun payung hukum untuk memfasilitasi hubungan antara industri pertahanan dengan lembaga-lembaga seperti Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri, tentunya sangat dibutuhkan. Hal ini untuk menjamin TNI dan Polri tetap menggunakan produksi alutsista dari dalam negeri.

Tentunya, dependensi yang besar dari industri lokal akan membuat alutsista kita terhindar dari embargo negara asing. Meskipun sulit dan terdengar seperti misi yang tidak mungkin, memajukan industri pertahanan nasional adalah salah satu cara bagi Indonesia untuk “berdiri di atas kaki sendiri” dalam percaturan geopolitik global, seperti kata-kata dari Bung Hatta dalam pidato di bukunya berikut ini: “Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja.” 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

5 Kasus Pembunuhan Mutilasi yang Jadi Sorotan Dunia

Tren
Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Daftar Terbaru Kereta Ekonomi New Generation dan Stainless Steel New Generation, Terbaru KA Lodaya

Tren
Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Daftar Sekolah Kedinasan yang Buka Pendaftaran pada Mei 2024, Lulus Bisa Jadi PNS

Tren
Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Sering Dikira Sama, Apa Perbedaan Psikolog dan Psikiater?

Tren
Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Benarkah Kucing Lebih Menyukai Manusia yang Tidak Menyukai Mereka?

Tren
Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Banjir di Sulawesi Selatan, 14 Orang Meninggal dan Ribuan Korban Mengungsi

Tren
Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Buah-buahan yang Aman Dikonsumsi Anjing Peliharaan, Apa Saja?

Tren
BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

BPOM Rilis Daftar Suplemen dan Obat Tradisional Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Rinciannya

Tren
Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Arkeolog Temukan Vila Kaisar Pertama Romawi, Terkubur di Bawah Abu Vulkanik Vesuvius

Tren
Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Kapan Seseorang Perlu ke Psikiater? Kenali Tanda-tandanya Berikut Ini

Tren
Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Suhu Panas Melanda Indonesia, 20 Wilayah Ini Masih Berpotensi Diguyur Hujan Sedang-Lebat

Tren
Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Apa Beda KIP Kuliah dengan Beasiswa pada Umumnya?

Tren
Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Kisah Bocah 6 Tahun Meninggal Usai Dipaksa Ayahnya Berlari di Treadmill karena Terlalu Gemuk

Tren
ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

ASN Bisa Ikut Pelatihan Prakerja untuk Tingkatkan Kemampuan, Ini Caranya

Tren
Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Arkeolog Temukan Kota Hilang Berusia 8.000 Tahun, Terendam di Dasar Selat Inggris

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com