KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir melemah dan terpantau menembus Rp 15.000.
Merujuk data Kurs Transaksi Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di level 15.030,78 pada Senin (4/7/2022), melemah ke level 15.034,80 untuk Selasa (5/7/2022), dan sedikit melemah menjadi 15.064,95 pada Rabu (6/7/2022).
Sementara itu, hingga Kamis (7/7/2022) pukul 15.15 WIB, berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ada di level 15.001.
Baca juga: Ramai soal Jadi PNS Harus Keluar Uang Ratusan Juta Rupiah, Apa Kata BKN?
Lantas, apa penyebab dan dampak melemahnya nilai tukar rupiah hingga Rp 15.000?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, faktor pelemahan rupiah lantaran pasar keuangan masih dibayangi sentimen negatif.
"Investor terus mencermati risiko kenaikan Fed Rate terhadap Indonesia sehingga melakukan penjualan aset berisiko tinggi," kata Bhima, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (7/7/2022).
Data inflasi Juni yang cukup tinggi sejak 2017, kata dia, juga memicu kekhawatiran akan terjadinya stagflasi. Apalagi, BI masih menahan suku bunga acuan dan berimbas makin tinggi risiko di pasar.
Baca juga: Tutorial Beli Pertalite dan Solar Subsidi Pakai QR Code Tanpa Ponsel
Menurutnya, kondisi likuiditas di dalam negeri bisa mengetat apabila pelemahan kurs terus terjadi. Sebab, pelemahan kurs menunjukkan adanya tekanan arus modal asing yang keluar.
"Cadangan devisa akan makin tertekan disaat arus modal keluar tinggi sekaligus kinerja ekspor komoditas mulai terkoreksi," beber Bhima.
Bhima berpendapat, seharusnya bank sentral mulai menaikkan suku bunga acuan seiring dengan yang dilakukan oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Fed secara agresif.
"Ditahannya suku bunga acuan membuat spread imbal hasil US Treasury dengan surat utang SBN semakin menyempit," ujarnya.
Baca juga: Viral, Video KRL Dilempar Batu hingga Kaca Jendela Pecah, Ini Penjelasan KAI Commuter
Lebih lanjut, ia mengatakan, pelemahan kurs dikhawatirkan memicu imported inflation atau kenaikan biaya impor terutama pangan.
Sejauh ini, lanjutnya, imported inflation belum dirasakan karena produsen masih menahan harga ditingkat konsumen.
"Tapi ketika beban biaya impor sudah naik signifikan akibat selisih kurs maka imbasnya ke konsumen juga," terang Bhima.
Baca juga: TKW asal Indonesia Ini Dapat Warisan Miliaran Rupiah dari Aktor Taiwan, Bagaimana Ceritanya?
Selanjutnya, pelemahan kurs rupiah juga akan mendorong percepatan kenaikan suku bunga acuan.
Menurutnya, BI perlu naikkan 25-50 BPS suku bunga untuk menahan aliran modal keluar.
"Tapi menaikkan suku bunga acuan berimbas kepada pelaku usaha korporasi, UMKM maupun konsumen. Cicilan KPR dan kendaraan bermotor bisa lebih mahal," tandasnya.
Baca juga: Mengenal Monstera Variegata, Tanaman Hias yang Bisa Laku Ratusan Juta Rupiah