Sebenarnya kita bisa membaca karakter pemimpin dengan mendengarkan cara mereka berbahasa.
Ada yang meledak-ledak penuh serangan. Jangan-jangan ia seorang pendendam. Maunya terus menerus menyudutkan lawan politiknya dengan bahasa vulgar sehingga terdengar kasar.
Sebaliknya ada yang terkesan hati-hati sehingga yang terdengar datar-datar saja. Biasanya bahasa macam ini milik orang yang penuh pertimbangan.
Jauh menengok ke belakang, ada seorang capres pada Pemilu 2009 -- yang dari analisis psikologi politik -- memiliki beberapa kelemahan, di antaranya konservatif dan tidak fleksibel, mudah tersinggung, dan dingin terhadap orang yang baru dikenal, serta terkesan superior.
Maka dalam berbahasapun cenderung menyerang dan enggan dikritik. Begitu ia dikritik pihak lain, seketika ia akan menyerang ulang dengan bahasa yang lebih vulgar.
Ia menciptakan istilah yang membuat telinga lawan memerah. Kita pun acap dibuat risih mendengarkan bahasanya, namun para loyalis pura-pura tak mendengarnya.
Tatkala berbicara bahasa pemimpin, seketika ingat sosok Haji Agus Salim. Ia bisa digambarkan "unen-unen" Jawa yang berbunyi "berbudi bawa leksana".
Karakter berbudi bawa leksana ini diberikan kepada pemimpin yang setiap ucapannya dilaksanakan dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab.
Setiap berkata disertai tanggung jawab. Ibarat peribahasa, karakter ini bukanlah tipikal "lidah tak bertulang" alias asal berkata.
Sikap berbudi bawa leksana akan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, karena pemimpinnya menjalankan semua peraturan dengan penuh dedikasi demi kemaslahatan rakyat.
Pada akhirnya tentu berujung pada pemerintahan yang berwibawa dan bersih, kemudian masyarakat menemukan apa yang disebut sebagai "tepa tuladha", yakni sosok yang bisa diteladani.
Agus Salim layak menyandang berbudi bawa leksana. Lihat saja penggalan hidupnya. Ia menduduki posisi pejabat tinggi (menteri muda dan menteri) setelah Indonesia merdeka, tetapi hidupnya tak pernah berubah.
Kata Prof. Schermerhorn (wakil dari Belanda yang menandatangani persetujuan Naskah Perjanjian Linggarjati) dalam catatan hariannya, "Orang tua [Agus Salim] yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam sembilan bahasa. Mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat".
Adakah sosok Haji Agus Salim sekarang ini? Adakah tepa tuladha bagi masyarakat?
Ada juga sih. Namun acap tenggelam oleh mereka yang menganggap gampang untuk menjadi pemimpin sehingga tak menyadari bahwa lidah mereka tak bertulang.
Tampaknya mereka yang punya "lidah tak bertulang" itu lupa harga diri terletak pada bahasanya.
Inilah yang digambarkan masyarakat Jawa dengan "ajining dhiri ana lathi". Sayang kalau kita punya pemimpin yang kehilangan harga dirinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.